hal asing yang harus terbiasa

bagian satu

Dan disinilah sekarang Pragaluh, di atas ranjang putih berukuran king size bersembunyi dari kilatan baskara cerah. Sinar matahari mencoba menyeruak masuk seakan memerintahkan pemuda rupawan itu untuk bangun dari tidur lelapnya. Namun Pragaluh dengan tak acuhnya mencoba untuk tetap memejam mata tanpa mempedulikan kelas online yang sebentar lagi akan dimulai. Telepon genggam yang ia bisukan, pasti tak berhenti berdering seandainya saja pemuda itu menyalakan akses suaranya. Sahabat masa kecilnya, Jeandra, adalah satu-satunya manusia yang ia yakini sebagai dalang dari banyaknya panggilan di pagi hari begini.

Pemuda itu masih setia memejam netra, sampai sang Bunda masuk ke biliknya tanpa permisi. Wanita paruh baya itu membawa tangannya membuka gulungan selimut yang merupakan bentuk terakhir perlindungan dirinya. Lengan dan jemari beliau begitu cekatan, hingga Pragaluh sama sekali tidak bisa memberikan perlawanan, barang sedikitpun. Badan atletis itu diguncang pelan, nyawa yang tadinya sedang berada di tempat lain serasa tertarik dan kembali menyatu dengan raga pemiliknya. Dengan terpaksa Pragaluh membuka netra, beberapa kedipan terjadi secara beruntun, seakan ia sedang berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke indera penglihatan dengan lancangnya. Pandangannya kosong, ia masih sangat megantuk, nyawanya belum kembali seutuhnya.

“Buruan bangunnya, bentar lagi siang ju,” ucap Bunda menyadarkan putranya dari lamunan. Pragaluh mengucek netranya pelan, berharap semoga rasa kantuk yang masih mendera bisa lenyap seketika. “Demi Tuhan, ini masih pagi bun ...” Ia terduduk ketika sang Bunda hanya berdecak sebagai respon, dengan badan yang terasa nyeri khas orang bangun tidur Pragaluh mencoba meraih telepon genggamnya di atas nakas yang tampak bergetar secara terus menerus. Tangan lentik pemuda itu berhasil menggapai gawai keluaran terbaru miliknya walau dengan kesusahan. Netranya melirik Papan notifikasi, dan pemuda itu memutuskan untuk tidak menghiraukan panggilan, karena sekitar delapan puluh persen merupakan panggilan dari Jeandra.

“Hari ini sekolah online pertama loh, jangan santai banget Ju.” Setelah sedikit merapikan selimut putra semata wayangnya, terlihat Bunda melangkahkan kaki untuk keluar dengan wajah masam, semua orang yang melihat pasti tahu kalau suasana hati wanita tersebut sedang pada fase tidak baik-baik saja. “kenapa sih? Kok bisa-bisanya mood beliau jelek gitu pagi-pagi begini.” Mata Pragaluh berputar ke atas malas, ia jengkel mendapat perlakuan tidak mengenakkan sesaat setelah bangun dari tidur malamnya. Dengan berat hati, ia mencoba untuk menyandarkan badan ke dashboard, kepalanya pening, badannya juga di rasa cukup berat.

Tanpa ambil pusing Pragaluh meregangkan badannya yang dirasa cukup kaku. Sendi-sendinya mengeluarkan bunyi nyaring yang terdengar cukup ngilu. Pemuda itupun melangkahkan kaki jenjangnya menuju kamar mandi, tangannya terulur untuk memutar kran air guna mengisi bak yang hampir kosong melompong. Karena cuaca pagi yang sangat sejuk, ia memutuskan untuk tidak mandi dan hanya membasuh wajah rupawan kebanggannya. “lah kok ada jerawat? Aduh, jangan-jangan salah satu skincareku ada yang nggak cocok.” Sementara terus mengeluh, Pragaluh membawa tangannya untuk meratakan salep pereda jerawat yang dibelinya beberapa hari silam. Dilanjut dengan pemakaian toner, dan beberapa krim pereda flek kehitaman. Setelah pemakaian skincare rutin, pemuda rupawan itu hendak menghilangkan bau mulutnya.

Pragaluh perlahan mencari sikat gigi yang biasanya, ia letakkan pada ujung lemari westafel.  Bulir air dari rambut yang sengaja ia basahi turun ke bahu tegapnya. Ia juga bisa merasakan baju dan celana tidurnya mulai basah karena percikan air kran yang dinyalakan tadi. “yaelah ini sikat gigi pakai acara sembunyi.” Pemuda itu berdecak pelan, ia menatap pantulannya di cermin, dengan sedikit rasa kesal akhirnya Pragaluh melangkahkan kaki keluar dan kembali ke kamar tidurnya.

Derap kakinya berhenti tepat di depan lemari baju, atensinya terfokus pada tumpukan pakaian yang sudah wangi dan mengeluarkan bau khas seperti habis di setrika. Sepasang demi sepasang, ia tetap mencoba mencari. Kamar Pragaluh yang semula beraroma maskulin pekat, berubah drastis. Kamar bernuansa gelap itu sekarang dipenuhi wangi-wangian aromatik bunga layaknya jasa laundry yang terkesan familiar, “buset, wangi kamarku jadi kayak baju kemanten baru!” dikibas tangannya untuk mengusir harum perisa bunga yang menyengat.

Setelah hampir sepuluh menit, seragam barunya akhirnya dapat ditemukan. Karena warna yang cenderung sama dengan beberapa warna baju-baju lain, pemuda itupun sangat kesulitan. Apalagi lemari yang bisa dibilang cukup besar itu, menyimpan berpuluh-puluh kemeja dengan warna yang nyaris saja serupa. Seragam sekolah barunya, SMA Negeri Nusantara Jaya nampak sangat kaku karena belum pernah dipakai sama sekali. Bahan plat yang terkesan ekonomis itu dirasa sangat tidak nyaman ketika dikenakan, berbeda dengan seragam sekolah menengah pertamanya yang memiliki tekstur lembut, serat yang kuat dan daya serap keringat yang sangat menakjubkan. Kualitas yang jauh berbeda, sebenarnya Pragaluh tak perlu membandingkannya. Ia adalah lulusan sekolah menengah pertama dengan kualifikasi internasional, dan anak dari presiden direktur yang tergolong kedalam sepuluh orang paling berpengaruh di Indonesia.

“ini aku kelihatan kayak orang-orangan sawah banget haduh.” Ucap Pragaluh, netranya memandangi lamat-lamat pantulan dirinya pada cermin di hadapannya. Dering telfon memasuki indera pendengaran pemuda itu dengan paksa, Pragaluh tersentak dari pemikirannya, menolehkan kepala menuju sumber suara tersebut. Tanpa berpikir dua kali, Pragaluh menjawab panggilan sembari merapikan rambutnya. “halo? Siapa ya?” diberikannya sedikit pomade pada telapak tangan, dengan telaten ia menguleni dan meratakannya pada rambutnya yang sedikit ia basahi tadi. Senyum manis terbit pada wajah bak dewa yunani miliknya, seakan ia sangat percaya bahwa tatanan rambut itu akan bertahan sangat lama. Namun, senyum itu tidak awet sepertinya, Pragaluh yang menyadari panggilan yang diangkatnya tidak segera memberikan respon merasa kesal sekaligus heran. Dengan sedikit berteriak, pemuda itu berujar, “haloo?! Ada orang nggak sih?”

“ini pragaluh ‘kan? Sorry-sorry i tadi lagi panggil mamah cause ada gojek atas nama i.” suara yang tidak asing, logat yang kental dengan campuran bahasa inggris. otak Pragaluh sejenak bekerja keras untuk mengingat siapa sosok di balik panggilan itu. “you good? Kok diem aja, ohh jangan bilang kalau you lupa siapa i?” 

Pragaluh dengan cekatan membuka media sosialnya, ia sering menandai nama teman dekat dan karateristik yang biasanya dilakukan. Walaupun akademis Pragaluh bisa dibilang di atas rata-rata, namun kemampuannya mengenali orang sangatlah pPapa. “Galuh, you lagi ngecek ‘daftar buat ngenal orang’ itu ya? Kalau iya, i beneran kecewa sih.” Ucapan pemuda di seberang telepon menyulut emosinya, “nggak usah sok tahu deh! Siapa sih ini? Orang mau nawarin pinjaman online kah? Please, kamu aneh banget sumpah!”

“weits kalem hahaha, i renjana bro! Literally kita Cuma nggak ketemu dua bulan setelah lulus, but you udah lupa sama i, ternyata ingatan you lebih pendek dari yang i pikirkan.” Terdapat nada merendahkan disana, Pragaluh yang tak ingin merusak suasana hatinya memutuskan untuk tidak acuh dengan perkataan sahabat sekolah menengah pertamanya itu. “lah diem, you dimana? I udah di high school nih.” Seandainya Renjana ada di hadapannya ia akan dapat melihat Pragaluh yang menaikan satu alis matanya seakan bertanya, pede amat dah? Siapa yang satu sekolahan sama kamu?

Renjana yang merasa tidak diberikan atensi memutuskan untuk berbicara kembali, “you kenapa diemin i sih? Nggak masuk Techno high school ya?” deheman singkat Pragaluh beri sebagai respon pada pemuda dengan keingintahuan tinggi di seberang sana. “you sekolah di luar negeri? Or di international school lain? For your information aja nih ya, Techno high school itu terjejer di sekolah paling maju dan berkualitas loh? Raise up you standart, Galuh.”

Ditengah omelan Renjana, tangan kanan Pragaluh terulur untuk mengambil laptop miliknya. Gawai itu terlihat menonjol dengan desain apik, dan spek tinggi yang memang dirancang khusus untuk para pro gamer. Laptop itu pemberian dari sang Nenek, dapat dilihat beliau sangat menyayangi cucunya sampai-sampai membelikan gawai seharga rumah tipe tiga puluh enam. “kamu udah selesai ngomel belum? Aku nggak sekolah di luar negeri, aku sekarang di SMANUJA.” Nada suara Pragaluh sangat datar, ia ingin memberikan kode kalau dirinya sudah sangat malas berbicara.

“hah? Are you serious? Pragaluh yang nggak bisa makan saus mau mutusin buat sekolah negeri? HAHAHA, candaan you lucu juga! Pragaluh mana mungkin mau ngerusak masa depannya dengan masuk sekolah pinggiran begitu.” Renjana nampak sangat tidak mempercayai penuturan sahabat baiknya itu. Pragaluh serasa di beri minyak dan dilempar korek, iapun membalas ucapan pemuda blasteran China di seberang sana, “i swear to God Renjana, just mind your own business dude.” Dengan menekan kalimat terakhir, ia berharap kalau Renjana sadar bahwa ucapannya sudah terlalu melewati batas.

“why are you so salty? Ini masih pagi, Galuh. I end up this call aja, maaf ganggu.” Nada bicara Renjana menyiratkan kekesalan sebelum panggilan itu diputus sepihak. Pragaluh mengusak rambutnya kasar dan meraih sebotol air mineral pada nakas tepat disebelahnya. Tutup botol itu dibuka dengan terburu-buru, diteguknya habis seluruh air mineral dengan rasa manis tipis itu dengan rakus.”yaelah Ren, kamu emang ganggu banget tau.” Semoga saja, perasaan gundah dan ragu yang muncul akibat ucapan Renjana dapat segera sirna. Ia tidak ingin bimbang dan akirnya membatalkan seluruh rencana panjang kehidupan menengah atasnya.

Matanya melirik ke arah jam digital yang elok terpasang pada meja rias di hadapannya, lalu dengan enggan hati Pragaluh berdiri dan mendekati kasurnya untuk duduk disana. Dibawanya tangan lentik itu untuk meraih meja lipat di kolong tempat tidurnya, ia menyadari kalau bisa saja ia terlambat pada kelas pertama. Dengan tergesa-gesa Pragaluh langsung membuka meja itu dengan menarik pelan kedua besi penyangganya. Model meja lipat yang terkesan cukup kuno untuk keluarga dengan harta melimpah seperti keluarga Pragaluh Juang Nagara, namun ia sangat menyayangi meja lipat itu layak halnya benda antik yang perlu dirawat dengan penuh perasaan. Ia memindahkan laptop ke atas meja dengan hati-hati. Tangan kanannya ia arahkan ke tombol kontrol, dan ia pun segera bergabung pada zoom pertama penyambutan siswa baru. Seakan mendapat naluri ilmiah, ia merasa kehidupan putih abu-abunya akan sangat menyenangkan nantinya.

Tak terasa sudah hampir lima jam pemuda itu berkutat dengan laptop dihadapannya, ocehan dari kakak osis dan para gurupun sudah tak diindahkan Pragaluh lagi. “hoamm.” Mulut Pragaluh sampai berbentuk seperti huruf abjad O sangking lebarnya ia menguap. Sudah terhitung empat kali Pragaluh terus menguap. Ia sepertinya sudah tidak menikmati kelas pertamanya lagi. Karena ia tidak ingin menjadi pusat atensi, ia mematikan akses kamera dan suara. Pragaluh sebenarnya tidak berniat untuk tidur, tetapi saat dirinya memejamkan mata sejenak karena matanya dirasa cukup berat, tiba-tiba kantuk berhasil merenggutnya. Pragaluh terlelap dengan bersandar pada dashboard di hadapan kelas pengenalan lingkungan sekolah barunya.

coba kembali

bagian dua

Gak, gak ada yang spesial sore itu. Pragaluh beneran cuma terbangun setelah terlelap pagi tadi. Yah, mungkin orang-orang biasanya akan melanjutkan tidurnya setelah sadar kalau terbangun di waktu ambigu ini. Namun berbeda dengan pemuda rupawan itu, ia dengan asyiknya malah mengajak Jeandra bermain game battle royale untuk mengusir kantuk.

“gas login! Please, mainnya yang serius. Aku lagi nggak mood buat mengumpat.” Ujar Pragaluh pada sambungan teleponnya. “harusnya aku nggak seh, yang ngomong gitu ke awakmu?” Pragaluh hanya tertawa mendengar sahabatnya yang nampak kesal, “cover-in aku ya. Cari awm kalau bisa.” 

Jeandra yang mendengar jawaban santai dari Pragaluh, hanya bisa mengerang gemas. “untung kamu temenku, kalau engga udah kupites kepalamu!” Sudah sekitar hampir dua jam mereka menghabiskan waktu, dan sudah selama itu juga dua pemuda itu habiskan untuk mengobrol. Mulai dari membahas Renjana, atau sampai dengan pembahasan seragam sekolah yang tidak membuat nyaman. Keduanya sering melempar tawa dan senyuman lebar, sama-sama menikmati waktu di sore hari sebelum sekolah online yang akan mengharuskan mereka untuk fokus sekali.

“ndra, last game ya? Aku mau ngerjain paper dari kakel soalnya.” Mendengar curhatan Pragaluh membuat Jeandra meringis di dalam hati, “anjirlah pengumpulannya kan masih semester depan, ini pake acara mau dikerjain sekarang.” 

“Pragaluh, papernya dikesampingin dulu bisa nggak?” sebelum Pragaluh sempat memberikan respon, Jeandra sudah kembali membuka mulutnya, “please? Suasana hati tuanmu ini lagi nggak seberapa enak nih.” Dengusan geli terdengar di ujung sana, seorang Pragaluh Juang Nagara mana bisa menolak keinginan Jeandra Nalajingga. 

Ini sudah hampir pagi buta, namun kedua putra Adam itu masih berkutat dengan permainan saling menembak itu. “turun disini aja Galuh, kayaknya nggak seberapa ramai.” Pragaluh mengangguk sebagai respon, ia mengikuti sahabatnya itu untuk menurunkan avatar gamenya pada daerah yang bernama “pochinki” tersebut. Namun sepertinya keputusannya salah, banyak avatar musuh memilih tempat yang sama, Jeandra merutuki dirinya sendiri, “mati kita, musuhnya banyak banget!” 

“Jeandra, udah dapet senjata belum? Aku udah dapet AWM sama scope X8. Lumayan juga lootinganku, maju aja entar aku cover.” Ujar Pragaluh menenangkan pemuda bermarga Nalajingga di seberang sana.

Senjata dengan berat yang hampir mencapai tujuh kilo ini bisa dibilang merupakan senjata jarak jauh paling mematikan di permainan ini. Senapan runduk yang ditemukan Pragaluh dilengkapi dengan kemampuan delapan kali zoom. Yah, singkatnya kalau pemuda itu bermain dengan benar, kemenangan mudah bukanlah hal mustahil.

“Galuh, musuhnya tinggal satu! Buruan kejar dah, ora perlu ngurusin aku” Dengan kepercayaan sahabat masa kecilnya itu, Pragaluh mengejar musuh tanpa menghiraukan rekan setimnya. Beberapa langkah pasti, ia mendekat sedikit demi sedikit. Tinggal sebuah tembakan, dan – panel notifikasi menghalangi pandangannya, dia tertembak mengenaskan tanpa bisa berkutik sama sekali.

Jeandra dibuat terkejut dengan kekalahan mereka yang tiba-tiba, “GALUH, KOK BISA KALAH SIH?” Teriakan heboh menyiratkan kekesalan Jeandra, yang pada awalnya sudah menaruh ekspetasi kemenangan di dalam permainan. Pemuda di seberang telfon itu juga ikut kesal karenanya, “duh panel notifnya nutupin tadi, kalah deh jadinya ...”

Menanggapi kalimat Pragaluh, dengan kekanakan Jeandra memutus sepihak panggilan telepon yang sudah dimulai berjam-jam yang lalu. Siapa yang tidak kesal, di saat kemenangan sudah persis di depan mata namun hal tersebut terasa sia-sia.

“ngambek dah nih bocah pasti.” Pemuda itu memilih untuk tidak ambil pusing, sekarang sudah pukul setengah tiga pagi. Yang berarti kelas online keduanya akan dimulai beberapa jam lagi. Ingin rasanya Pragaluh tetap terjaga, namun takdir berkehendak lain. Ia pergi ke pulau mimpi, di pagi buta menjelang terbit matahari.

Beberapa saat berlalu, Pragaluh mendapatkan kembali kesadarannya setelah terlelap cukup lama. Ia melewatkan kelas keduanya, berbekal harapan Pragaluh berdoa semoga saja teman sekelasnya dengan sukarela berbagi materi kelas pagi ini. dengan enggan hati pemuda itu memeriksa gawai miliknya. Ternyata kelas kedua membahas tentang ekstrakulikuler sebagai wadah berkreasi siswa yang aktif dan berprestasi. Terdapat himbauan untuk segera memilih ekstrakurikuler sesuai bakat dan juga kemampuan tentunya. Ia yakin sekali, notifikasi itulah yang menyebabkan kekalahannya dini hari tadi.

“harus banget ini daftar ekskul?” pemuda itu mengeluh, kepalanya seperti diputar karena pening yang mendera. Tangannya terulur untuk memijit pelan pelipisnya, ia benar-benar tak mendapatkan ide sama sekali untuk mendaftar menjadi bagian ekstrakulikuler yang mana. Sebenarnya sekolah yang ia tempati sekarang, terkenal dengan volly yang tergolong sangat mumpuni. Namun apa daya, pemuda itu tak pintar berolahraga. Kalau ia mendaftar volly, bisa-bisa Jeandra akan tertawa kencang dengan memuncratkan banyak liur ke arahnya.

Pragaluh membuka media sosial di gawainya, ia mulai mencari tahu semua ekstrakulikuler yang setidaknya tidak akan memberikannya kesulitan. Mulai dari; ekstrakulikuler yang memerlukan kemampuan public speaking – sampai ke yang memerlukan kekuatan fisik. Atensinya berhasil di curi sepenuhnya oleh akun milik salah satu ekstrakulikuler yang masuk pada golongan pertama. Feeds yang rapi, dengan warna kalem yang memanjakan mata. Akun dengan nama “jurnalismanuja” membuatnya jatuh cinta pandangan pertama.

Karena muncul keraguan di benaknya, ia mencoba memanggil Renjana untuk berdiskusi. Iya, Renjana yang sempat membuatnya kesal beberapa hari lalu. Walau tampang pemuda itu tergolong cukup sangar, ia memiliki hati bak kapas yang sangat lembut. Mana bisa ia berlama-lama emosi pada Renjana, karena tidak ingin memperburuk situasi, Pragaluh pasti akan meminta maaf duluan, like gentleman usually do.

“oh God thanks answer my call, Ren.” Pemuda itu menghela nafas lega, ia benar-benar butuh pendapat publik dari pandangan lain segera. “ada apa you nelfon i? Something wrong huh?” pria di seberang sana nampak sedikit bingung, bagaimana tidak, Pragaluh yang dikenalnya malas sekali untuk berkomunikasi lewat gawai memanggilnya duluan, sepertinya momen ini perlu diabadikan. 

“langsung inti aja deh, aku mau gabung jurnalis.” Pragaluh menahan nafasnya sejenak, bersiap diri bila Renjana akan tertawa saat mengetahui dirinya bergabung ekstrakulikuler itu. “terus? Ya gabung aja?” 

respon dari Renjana sangat di luar ekspetasinya, “hah? Kamu nggak ketawa?  Aku udah siapin diri loh in case kalau kamu bakal ngerendahin aku.” Decakan muncul dari pemuda blasteran china di ujung sana, “Pragaluh, ngapain i ketawa sama keputusan you? Jurnalis maybe can be tempat buat you mengekspresikan diri. Who dare laugh at you huh? Jeandra? I will marahin dia nanti!” omelan sahabat baiknya itu membuat tawa pemuda tampan itu pecah, ia tak menyangka dengan sifat kekanakannya, Renjana dapat memberikannya keyakinan sebesar itu. He feel lost but safe in the same time.

Renjana mencoba untuk memecahkan keheningan, “btw gimana nih sekolah barunya?” Jujur, Pragaluh bingung ingin menjawab apa. Haruskah ia Jujur kalau ia sedikit menyesal memasuki sekolah negeri? Atau ia berbohong saja, setidaknya untuk memberi Renjana kepercayaan kalau ia baik-baik saja. 

“halo? You still dengerin i kan?” ucapan Renjana membuat pemuda di seberang sini tersentak. Ia menimang-nimang, dan sepertinya opsi kedua adalah yang terbaik, “nggak jauh beda sama sekolah sebelumnya sih ...” bohong, itu dusta yang tersembunyi dengan apik. Ia tentu saja kangen dengan sekolah internasional lamanya, Pragaluh sangat merindukan gedung menjulang tinggi tempat ia bersekolah dulu. Mulai dari lantai yang sama sekali tak pernah berdebu – hingga AC yang suka bocor tanpa sebab.

“you masih sekolah online kan? Pantes sih bilang begitu. Not gonna lie ya Luh, if you masuk offline perbedaannya jauh banget loh ...” Pragaluh menampakkan ekspresi bingung, sebelum ia sempat bertanya, Renjana menyambung kalimatnya. “nggak ada AC di kelas and koridor, makanan kantin yang belum tentu higienis, sampai-sampai fasilitas buku pembelajarannya beda kualitas banget!”

Kening Pragaluh sedikit mengernyit, ia tak bisa membayangkan sekolah tanpa beberapa fasilitas yang diucapkan sahabatnya itu. sadar akan keheningan, Renjana merasa sedikit bersalah sudah membuat Pragaluh kepikiran, “ahh Galuh, i rasa its not seburuk yang you pikirin. Kata mamih berkeringat sedikit itu sehat!.”

“yes, i know kok. Pasti nggak seburuk itu ...” ucap Pragaluh mencoba meyakinkan dirinya sendiri, pemuda di seberang sana sedikit tertawa karena gemas dengan tingkah percaya diri milik sahabatnya itu. “i matiin telfonnya dulu ya? Mau take off ke Melbourne nih, dont forget to daftar jurnalis, Pragaluh.” 

“safe flight, Renjana.” Sambungan telepon itu dimatikan, Pragaluh Jujur sekali merasa iri. Ia tahu betul kalau Melbourne adalah tempat yang menjalin kontrak kerjasama dengan Techno highschool, alias Renjana pergi ke sana pasti sedang mpls sekolah barunya. Sedangkan dirinya hanya bersekolah online di rumah, pemuda rupawan itu hanya bisa tersenyum. Senyum yang menyiratkan makna dalam lebih tepatnya.

Pragaluh terduduk dengan cepat, karena gerakannya yang tiba-tiba kasur king size itu sedikit berdecit. “daftar sekarang deh, ntar kalau nunda pasti kelupaan.” Tangannya dengan cekatan membuka gawainya, dapat dilihat ia menekan link yang mengantarkannya pada formulir pendaftaran. Ia memulai mengisi pertanyaan remeh disana, mulai dari hal publik hingga mengarah ke yang lebih personal.

Pemuda itu telah mengisi seluruh kolom yang tersedia, saat mengunggah, sebuah link muncul menandakan filenya telah berhasil direkam. Karena penasaran yang tinggi, ia menekan link tersebut, yang ternyata mengarahkannya untuk bergabung ke grup anggota baru jurnalis SMANUJA.

“parah, anggotanya lumayan juga, banyak banget yang daftar.” Pragaluh tak heran dengan hal tersebut, itu pasti ada sangkut pautnya dengan pemilihan feeds dan promosi ekskul jurnalis yang luar biasa. Apalagi kebiasaan kakak kelas yang bermulut manis supaya mendapat siswa baru yang bisa diamanahkan meneruskan ekstrakulikuler itu.

cahaya dalam keruh

bagian tiga

Kata Bunda, hari rabu itu selalu bermakna untuk beliau.dan, Pragaluh mulai memahami kalimat tersebut. He feel the same way, of course. Hari rabu itu sempurna, dan pasti akan terus sempurna. 

Ini semua dimulai saat pemuda rupawan itu mendapatkan notifikasi untuk pertemuan anggota baru jurnalis SMANUJA. Seperti biasa, Pragaluh akan mengumpat dahulu karena kegiatan yang akan merusak jadwal “me time” –nya. Ia mulai berceloteh di hadapan cermin karena malas harus mandi dan memastikan penampilannya sudah cukup atraktif.

“bolos aja Luh, timezone tunjungan sama aku ta? Bills on me wes” benar, itu suara Jeandra. Sahabatnya itu mencoba menghasut dirinya dengan tawaran yang sangat menggiurkan. Membayangkan bermain walking dead, menggerakkan busur untuk membinasakan mayat-mayat hidup saja telah membuatnya bersemangat. Sudah menjadi rahasia umum, Pragaluh adalah penggemar nomer satu gadis bernama Tara pada serial horror amerika, dengan judul walking dead itu. Namun, entah bisikan dari malaikat mana, ia menolak mentah-mentah, dan malah memilih kegiatan pra-sekolah yang membuatnya mengumpat saat bangun tidur tadi.

Langit sedikit mendung, aroma masakan sudah tercium. Terdengar suara siaran berita, dan lagu-lagu rohani dari lantai bawah. Pemuda yang telah bersiap diri, dengan kemeja bergaris putih-hitam, dan celana jenis jeans bermotif sedikit robekan yang membuatnya terkesan sangar itupun menuruni anak tangga sembari sedikit merapikan tatanan rambutnya.

“Ju? Kok udah rapih aja? Mau kemana?” runtutan pertanyaan yang menuntut, Bunda sedikit mendongak untuk bertatapan dengan netra legam putranya itu. “kamu kalau mau keluar bujuk dulu Papamu.”

“hah? Papa pulang bun?” Bunda pelajar itu hanya mengangguk untuk merespon, Pragaluh sekarang pasrah dengan takdir yang diberikan Tuhan. Pasrah dalam artian, beneran pasrah. Papanya sangat ketat terhadap kesehatan keluarga, bila bertanya pada teman dekatnya, Papa itu laki-laki yang benci sekali dengan penyakit, ia selalu berusaha mencegah daripada mengobati. 

Perihal itulah Pragaluh mulai gusar. Sekarang kebijakan new life berlaku karena pandemi corona-19, banyak doa dipanjatkan pemuda itu agar mendapat izin untuk mengikuti kegiatan jurnalis. Yang benar saja, baru kegiatan pertama tapi malah nggak hadir. Membayangkan dianggap tidak niat menjadi anggota saja, sudah membuatnya bergidik ngeri. Semoga Tuhan mendengar doanya, dan melunakkan keteguhan hati Papa yang sekeras baja. Semoga saja.

Setelah cukup mudah untuk menemukan keberadaan lelaki paruh baya yang sangat ia sayangi, tanpa basa-basi Pragaluh memulai aksi cerdasnya, “loh Papa? Inget rumah toh, tumben pulang.” Sebuah jitakan mendarat ke dahi pemuda itu, sebagai hadiah atas perkataan yang kurang ajar terhadap sang Papa. “kamu ngusir Papa apa gimana?”

“kalem pa, santai dong kayak di pantai.” Pragaluh mengambil duduk di sebelah presdir mitsushaka itu, suasana menjadi canggung seketika. Pemuda dengan tampilan rapi itu tak bisa melepas netra dari lelaki paruh baya di hadapannya. “apa? Papa ngapain diliatin sebegitunya?” 

Pragaluh menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Jujur saja, ia bingung mau memulai frasa dari mana. Tapi, seperti kata pepatah, gas ajalah boskuuu. “mau izin keluar, ada kegiatan ekskul hehe.” 

“haha hehe, ceringisan aja. Enggak, Papa ga izinin.” Seperti yang sudah ia bayangkan, Papa tidak akan mudah membiarkan putra semata wayangnya keluyuran di tengah pandemi begini. “Papa mah gitu, Galuh kan bukan nongkrong, masa anaknya mau nambah relasi malah dibatesin.” Bibir pemuda itu sedikit maju, ia memasang pose seakan-akan merajuk di hadapan Papa biologisnya itu. Ia juga menatap dengan penuh harap, seakan ada bintang di dalam bola matanya. Pragaluh itu indah, hingga siapapun yang melihat hal tersebut tidak akan pernah tega untuk menolak keinginan pemuda rupawan satu ini.

Sosok dihadapannya menghela nafas panjang, pasti enggan rasanya mempertaruhkan kesehatan sang putra untuk kegiatan sekolah sekalipun. “udahlah pah, biarin aja, kasian anaknya.” Terimakasih Tuhan, Bunda ada di pihaknya. Wanita itu mendekat dan memijit bahu Papa, sebagai bentuk “sogokan” tentu saja.

“oke, Papa izinin. Asal kamu kasih nomer hp guru pembimbingnya. Mana tau kamu malah nongkrong gajelas sama si jingga-jingga itu.” Tersirat nada khawatir disana, Pragaluh tau sebenarnya Papa itu orang yang nggak tegaan, apalagi sama anak sendiri. 

“ya ampun, nggak percayaan banget sama anak sendiri. Oh iya minjem si panther ya pah! I love youu!” Pragaluh langsung meninggalkan ruang keluarga itu dengan menulikan telinga, karena omelan sang Papa yang rasanya tak akan kunjung habis saat itu juga. “Pragaluh! Jangan sampai lecet atau Papa taruh kamu di kolong jembatan!” sesaat setelah mendengar teriakan menggelegar itu, pemuda rupawan ini malah mendengus geli, “ancaman kosong.” Batinnya.

Sebuah mobil Isuzu Panther keluaran tahun 1996 ini terparkir rapih di bahu jalan. Pragaluh sudah duduk dengan gagahnya, melirik keadaan alam yang nampak tidak bersahabat. Awan kelabu menyelimuti langit, seolah menolak keberadaan baskara untuk menyinari buana. Ia mulai menyalakan mesin, dengung khas mobil antik memang berbeda. 

Semakin berjalan waktu, semakin gelap pula langit kala itu. Pragaluh berdecih malas, “kalau hujan, pasti macet, ya Tuhan ...” dalam perjalanan ia harap-harap cemas, kendaraan yang lalu lalang mulai melambat, semoga saja ia bisa datang tepat waktu di hari pertamanya. Angin-angin menusuk tulang, mengibarkan sebagian ujung rambut Pragaluh. Penghangat yang kini terus-menerus ia naikkan rasanya juga tidak mempan untuk mengusir dingin.

Pemuda itu memang teramat asing dengan hujan. Udaranya gila, dan Pragaluh tidak pernah suka. “kalau bukan gara-gara jurnalis, aku mana mau.” Rutuk Pragaluh di dalam hati.

Dewi fortuna seakan memihaknya, ia tiba dengan selamat sentosa. Dan satu hal yang sangat ia syukuri pula, hujan turun tepat setelah dirinya berhasil memparkirkan mobilnya dengan aman. Badannya lantas meliuk guna meregangkan tubuh sejenak, gerakan itu konon katanya ampuh untuk meredakan dingin, walau durasinya hanya sebentar saja. Ketika otot-otot yang menegang itu kembali mengendur, dingin pasti akan kembali menggerogoti badan.

Entah mengapa koridor sekolah ini begitu panjang rasanya, padahal jika harus dibandingkan besar gedung sekolah ini tak ada setengah bagian gedung sekolah menengah pertamanya. “ini kenapa lama banget dah nyampenya, nggak tau orang buru-buru apa ya.” Akhirnya, Pragaluh berhasil melangkahkan kaki memasuki ruangan jurnalis, tepat saat acara akan dimulai sebentar lagi, dengan cekatan ia segera mengisi absensi dan duduk bersama teman-teman barunya.

Siku kanan Pragaluh tak sengaja menyenggol lengan kiri gadis asing, seolah memaksa gadis itu segera menoleh ke arahnya. “jangan asal senggol dong!” seruan gadis itu menarik penuh atensi yang sempat menghilang, ia kemudian mengerjap-ngerjap untuk mencoba memahami situasi, “eh.. sorry-sorry nggak sengaja.” Kata Pragaluh, dialog pertama mereka di tengah ramainya keributan. “nggak apa-apa, maaf ngebentak huhu, tadi kaget banget.” Ia tersenyum tipis, “Sasmaya.” Gadis dengan paras ayu itu juga menyodorkan tangan kanan, hendak berkenalan.

“Pragaluh.”

Suara teriakan kakak kelas mereka, semakin bergaung di telinga kedua remaja itu. Membuat mereka diam sejenak, dan mau tidak mau harus menikmati atmosfer canggung yang mengapung di ruangan ini.

“selamat siang rekan-rekan sekalian, sesuai agenda hari ini kita fokus ke penyambutan anggota baru ya? Sebelumnya, saya akan menjelaskan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan-“ seseorang memulai acara tersebut, ia memutar mata malas. Jujur saja, ia enggan sekali mendengarkan celotehan panjang yang ia yakini hanya sebagai bentuk formalitas saja, ia juga malas sekali mendengarkan orang yang banyak bicara, kenapa nggak to the point aja coba?

Alih-alih memperhatikan arahan, pemuda rupawan itu menaruh atensi pada gadis berparas ayu disebelahnya. Tampilan anggun yang nampak sederhana, kulitnya tidak terlalu putih, namun manis. Tak begitu tinggi, namun terasa sangat pas untuk dipeluknya, ia merasa hari rabu kali ini benar-benar definisi sempurna yang sesungguhnya.

“kita mulai sesi perkenalan dulu ya, nama saya Moreo Satra Winata, dari 11 IPS 3. Hobi cover lagu, tinggi saya kira-kira 175 senti” Mata pemuda yang diduga ketua jurnalis itu menelisik para anggota baru yang nampak tidak fokus, “Gadis manis di ujung sana, kok melamun? Siapa namanya?” Pragaluh kesal, jelas sekali Sasmaya memperhatikan semuanya dengan seksama. Kenapa nama indahnya dipanggil? 

“ahh maaf kak, perkenalkan semuanya nama saya Diajeng Sasmaya Ayu. Nama panggilannya terserah, asal masih dalam ranah sopan ya. Untuk kelas, saya dari X Mipa 3. Untuk hobi, saya suka menari. Dan untuk tinggi, terakhir ngukur sih 162 senti.” Gadis itu sedikit melambai tangan, tanpa bisa di hindari, pandangan Pragaluh dan Sasmaya bertemu, jantung pemuda itu seakan berdegup sepuluh kali lebih kencang dari biasanya.

Ditatapannya tadi, Sasmaya adalah sesosok gadis dengan rupa elok nan ayu, sesuai dengan nama gadis itu. Tidak ada celah sedikitpun, semua hal yang melekat ditubuh gadis itu tampak begitu paripurna. Tepuk tangan riuh mengakhiri perkenalan dari Sasmaya, yang benar saja, semua pemuda pada ruangan itu seakan tidak bisa melepas atensi dari gadis yang sekarang sedang tersenyum dengan manis.

“aduh cantik banget senyumnya dek, lanjut ayo. Itu, yang di sebelahnya.” Pragaluh nampak kebingungan, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri untuk memastikan kalau itu memang gilirannya, “iya dek, bener kamu kok. Ayo buruan.” Salah satu kakak kelaspun menegurnya.

Diawali dengan batuk kecil yang mencoba untuk mengusir rasa canggung, “ekhem perkenalkan saya Pragaluh Juang Nagara, tinggi 177 senti, hobi golf sama Papa.” Semua pemudi di ruangan itu takjub dengan Pragaluh. kulit pucat, badan atletis, suara yang rendah, bahkan wajah mulus bak dewa yunani. Semua orang yakin, Pragaluh diciptakan saat Tuhan sedang bahagia.

“ganteng ...” gumam Sasmaya dalam hati. Suatu keajaiban sekali. Bagaimana tidak, entah ditiup oleh angin mana, tiba-tiba saja kalimat pujian yang diperuntukkan kepada seorang pria muncul di dalam benak Sasmaya. Sepanjang sejarah, setelah bubarnya hubungan antara ia dan mantan, ini adalah kalimat pujian pertamanya.

Pragaluh menyadari Sasmaya yang menatapnya lekat, meskipun ia tahu arti dari tatapan itu tidak lebih dari tatapan orang yang sedang menghargai pembicara, tapi tetap saja ia merasa ada yang aneh dari tatapan gadis itu, atau mungkin ia yang terlalu percaya diri? Entahlah.

Seusai perkenalan singkat itu, selanjutnya nama-nama anggota baru yang lain dipanggil secara berurutan dan terus berlanjut hingga kini sudah sampai pada penghujung acara. Kebanyakan orang sudah meninggalkan ruangan sempit itu, begitu pula dengan Pragaluh. Ia berjalan menyusuri koridor menuju ke parkiran. Langkah tegapnya berhenti, ketika indera pendengarannya menangkap suara seseorang, “Galuh, ke parkiran ya?” 

Bukan, itu bukan Sasmaya. Pragaluh tersenyum sebagai bentuk formalitas terhadap sosok di sebelahnya, “iya nih, kak Moreo sendiri juga kan?” banyak umpatan yang ia keluarkan sejak tadi, pemuda itu sudah kehabisan tenaga untuk bersosialisasi. Sebenarnya ia sangat enggan merespon pemuda yang lebih tua itu.

“iya, tapi rencananya mau nongkrong dulu. Sambil nunggu reda, ikutan nggak?” tanya Moreo, tatapannya terlihat seperti mengharapkan yang lebih muda untuk pergi bersamanya. “nggak dulu kak, udah dicariin Papa hehe.”

“yah sayang banget, yaudah saya duluan ya.” Setelah mengucap deklarasi penuh kekecewaan itu, Moreo melangkahkan kaki menjauh dari Pragaluh. Tanpa ambil pusing, pemuda itu melanjutkan derap kakinya menuju parkiran.

Pragaluh telah berada di hadapan mobil miliknya, ia mencari kunci kendali mesin besi itu. Namun, lagi-lagi ia terpaku melihat gadis yang menarik atensinya tadi berjalan ke arahnya. Ralat, berjalan ke arah motornya lebih tepatnya. Sasmaya sedang berusaha mengeluarkan motornya dengan pPapa karena terhimpit oleh motor di sebelahnya. Jangan kalian mengira bahwa pemuda itu akan dengan kerennya membantu Sasmaya mengeluarkan motor tersebut. Tidak, kalian salah besar. Bukan karena ia pengecut tapi kini ia lebih memilih untuk menormalkan detak jantungnya terlebih dahulu. 

“Galuh, aku duluan ya?” tolong berikan oksigen sekarang juga, Pragaluh mungkin benar-benar akan pingsan saat ini. Yang benar saja, Sasmaya menyapanya dengan tersenyum begitu manis. Perutnya terasa geli, jutaan kupu-kupu rasanya sedang berterbangan di dalam sana, hingga ia melupakan bahwa hujan belum benar-benar berhenti dan kini tubuhnya sudah setengah basah.

Sampai detik ini, meskipun sedang mengendarai mobil, yang ada di pikirannya hanyalah Sasmaya, tidak peduli dengan tatapan orang lain yang mungkin menganggap dirinya sudah sedikit gila karena sedari tadi ia tersenyum tanpa menghiraukan langit semakin gelap dan hujan yang semakin deras.

Karena terlalu fokus memikirkan keindahan senyum Sasmaya, ia tidak sadar kalau lampu lalu lintas sudah berganti menjadi merah. Untung saja, ia dengan buru-buru menepi dan alhasil dirinya lah yang terkena amukan orang-orang di seberang sana.

“gila, bener-bener dah.” Pragaluh mengumpat sembari mengabari kabar pada orang tuanya bahwa ia akan telat karena menunggu hujan reda. Ditengah air yang sedang mengguyur kota pahlawan, Pragaluh kini tahu, Diajeng Sasmaya Ayu benar-benar berhasil merenggut seluruh kewarasannya.

tampilan depresi

bagian empat

Matahari terbit dari ufuk timur, cahaya berwarna jingga kekuningan itu mulai menyebar menyinari seluruh belahan bumi yang ditinggali oleh jutaan insan manusia. Seperti biasanya, Pragaluh terbangun akibat sinar yang menyeruak masuk melalui celah-celah jendela kamarnya. Pemuda itu mulai membuka kedua netra, mengumpulkan nyawa, dan bersiap untuk kelas pagi ini.

Sudah terhitung dua minggu semenjak kelas online di mulai, sudah selama itu pula pelajaran diberikan sebagai asupan dini setiap pagi. Matematika adalah asupan itu hari ini, pelajaran menyenangkan bagi yang suka dan pelajaran yang dihindari bagi mereka yang memang tidak berniat memahami.

Usai mandi dan menggunakan seragam lengkap sesuai hari, Pragaluh berniat untuk mengisi perutnya dengan beberapa lembar roti dan segelas susu. Bukankah akan sulit jika mengisi daya terlebih dahulu? Ia mengunyah dengan perlahan, menikmati suasana pagi dengan siraman rohani tentu saja. 

Selesai dengan urusan perut, sekarang adalah waktunya untuk menulis kelas online hari ini. Buku harian dan laptop miliknya, sudah berada di depan mata. Jemarinya mengarahkan kursor untuk bergabung ke forum daring pembelajaran, banyak pelajar lain yang sudah bergabung, tak terkecuali pak Rama. Iya, guru matematika sok asik yang umurnya hampir mencapai setengah abad. Namun jangan salah, tua-tua begitu, jiwanya tetap masih muda menyala.

Selang beberapa menit, kelaspun dimulai. Pembelajaran hari ini adalah aljabar, materi yang tergolong cukup mudah. Terkadang pemuda itu heran, mengapa para guru tetap mengulangi materi itu kembali. Guru matematika itu memberikan penjelasan dengan cukup rinci, ia pandai berkomunikasi. Kali ini pembelajaran terasa menyenangkan karena pria paruh baya itu menjelaskan sembari memberikan ilustrasi lucu yang mengundang humor anak didiknya. 

Tidak ada yang merasa bosan, mengantuk, bahkan mengalihkan pandangan dari layar. Dari kamera, Pragaluh memperhatikan teman-temannya yang dengan semangat mencatat juga mencoba mengaplikasikan rumus yang diberikan. Di akhir pembelajara, tidak mungkin bila guru matematika itu tidak memberikan satu soal spesial untuk dijadikan bahan rebutan para pelajar di forum online itu.

Ini yang ditunggu-tunggu daritadi, soal tidak ditulis namun dilafalkan. Semua pelajar sibuk mendengar dan meningkatkan sensifitas indera mereka. Tak terkecuali dengan Pragaluh, ia harap-harap cemas dapat memberikan jawaban yang benar. Hingga soal selesai dibacakan, para siswa tak ada yang bersuara. Rata-rata, atau bahkan semuanya mulai menghitung dengan cekatan.

“10x+23y=9 pak.” Benar, itu suara bariton Pragaluh. Semua pelajar yang sedang menghitung mendongakkan kepala, ada yang memasang ekspresi kesal karena kalah cepat. Atau, ada yang bingung karena jawabannya berbeda dengan pemuda itu.

“bagus Pragaluh, kamu yang mendapat nilai tambahan untuk materi hari ini!” setelah validasi dari pak Rama, ternyata Pragaluh benar-benar mendapat nilai tambahan. Tertuju pada rekan-rekan yang lain mari berjuang lagi, di lain hari.

Kelas hari inipun selesai, tidak sulit bagi pemuda rupawan itu. Namun matematika, tetaplah matematika. Pragaluh berniat membereskan buku dahulu baru merebahkan diri di kasur king size miliknya. Sepertinya hal itu hanya wacana, sebelum sempat membereskan buku yang berserakan, Pragaluh sudah memejam mata dengan santainya.

Pragaluh bosan. Dalam artian yang benar-benar bosan, kelas online sudah selesai, pekerjaan sekolah juga sudah selesai, ia menimang-nimang apa yang belum dilakukannya. Oh iya, tentu saja bermain gawai, “bisa-bisanya nggak inget punya handphone ...” 

Ia mengaktifkan ponsel genggam, dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Kira-kira aplikasi apa yang harus ia buka? Tentu saja lovestargram! Aplikasi yang hampir seluruh umat manusia mempunyainya. Banyak hal yang dapat dilakukan pada aplikasi itu, ia terus menggulir laman, mencoba menemukan sesuatu yang menarik. Namun tidak ada, ada apa dengan hari ini? Mengapa rasanya berkali-kali lipat lebih membosankan?

Tiba-tiba muncul ide yang mungkin saja akan sangat menyenangkan bila dilakukan, Pragaluh mencari akun milik gadis yang beebrapa minggu ini selalu menghantui pikirannya. Siapa lagi kalau bukan, Diajeng Sasmaya Ayu? 

Dengan telaten ia mulai mencari, dengan mengetik nama lengkap – sampai mengecek satu demi satu pengikut akun jurnalis sekolahnya. Senyumnya terbit di kala, usahanya nampak tidak sia-sia. Akun gadis itu, telah ditemukan. Sudut bibirnya terangkat, senyum sumringah benar-benar terpancar, auranya menjadi beribu-ribu lebih gemilang dari biasanya. 

“cantik ...” kata itu meluncur tanpa penghalang, postingan milik Sasmaya tidak menunjukkan wajahnya dengan jelas. Tapi pemuda yang sedang kasmaran disini sangat yakin, Sasmaya cantik, dan selamanya akan tetap cantik. 

Pragaluh terus memperhatikan semua story milik (calon) kekasihnya itu, hingga tanpa ia sadari gawainya terjatuh tepat di wajahnya. Serasa di hantam, tulang hidungnya sangat nyeri, dan satu hal yang membuatnya tambah ingin mengumpat, tombol “follow” tidak sengaja tertekan, “KEPENCET FOLLOW, ARGHHH!” 

Baiklah, hal tersebut sudah terlanjur kejadian. Pragaluh melempar ponselnya abstrak, dan kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. “bikin ga mood aja deh, mending aku ke rumah Jeandra.” Sebenarnya kenapa harus kesal? Bukankah “follow” adalah hal biasa di dunia lovestargram? Tidak teman, itu memang hal biasa, namun ini semua perihal harga diri seorang pria.

Pragaluh mengganti kaos oblongnya dengan hoodie berwarna hitam. Motif polos dengan satu kalimat hiasan di bagian depan, tak lupa dengan masker juga membawa kunci kuda besi kesayangannya. Ia mengendap-ngendap keluar rumah, persis seorang maling yang hendak merampok harta presdir mitsushaka. Mungkin dewi fortuna sekarang sedang memihaknya, Papa dan Bundanya sedang pergi ke acara bisnis bulanan bersama kolega-kolega yang memuakkan. Biarlah sedikit kasar, mereka pantas menerimanya. 

Kota pahlawan terik sekali pagi itu. Pragaluh sedikit menyesal tidak menggunakan mobil saja, suhu kota ini nyaris mencapai empat puluh derajat celcius. Belum lagi asap kendaraan yang cukup menganggu, Surabaya sejak kapan menjadi separah itu?

Vespa GTS memasuki kediaman Nalajingga, ia kesal sekali karena security yang terus menghalanginya masuk. Hingga ia terpaksa menunjukkan beberapa foto kedekatannya dengan penerus utama NAKA corp. Security yang menghadangnya hanya mengucapkan maaf dan tersenyum tanpa perasaan bersalah, ingin sekali Pragaluh melayangkan bogeman mentah ke arah bapak-bapak itu.

Dengan lancangnya, tanpa permisi apalagi, Pragaluh memasuki rumah itu serasa rumah sendiri. Beberapa asisten rumah tangga sudah mengenalnya baik, dan tidak mempermasalahkan hal tersebut. “permisi bi, Jeandra ada di kamar kan?” pragaluh bertanya dengan seorang pembantu yang sedang sibuk membersihkan tangga, “oh iya, den Jeandra ada di kamar kok.” Ucap wanita paruh baya itu dengan sopan.

Pemuda rupawan itu melangkahkan kaki jenjangnya menaiki tangga, kadang ia kesal sekali kenapa kamar sahabat baiknya harus berada di lantai empat. Dirasa ia sedang olahraga mendadak, karena Jujur saja ia lelah menaiki satu-persatu anak tangga kediaman Nalajingga itu.

“tumben kesini?” iya, itu kata pertama yang keluar dari mulut Jeandra saat melihat teman masa kecilnya memasuki kamarnya dengan tidak tahu tata krama. “tumben kamu bilang? Ahh sudahlah aku kesini buat curhat, tapi berasa disuruh olahraga.” Peluh bercucuran dari pemuda yang kini merebahkan diri pada ranjang dengan sprei bermotif sederhana. “kenapa nggak naik lift aja coba?” tanya Jeandra heran, tangannya terulur menelfon beberapa asisten rumah tangga untuk membawakan camilan dan minuman dingin ke kamarnya.

“nggak kepikiran, lagian sok ngide mau kamar di lantai empat buat apa sih?” Pragaluh terduduk, ia melepaskan hoodie hitamnya. “buat bikin kamu capek kalau kesini.” Pernyataan penuh candaan itu membuat Pragaluh kesal dan menjitak kepala Jeandra dengan cukup sadis, yang dijitak hanya bisa meringis karena perbedaan kekuatan yang cukup timpang.

“aduh ampun-ampunn, btw mau curhat apaan? Bentar aku tak nebak sek ...” Jeandra berpose seakan sedang berpikir keras, sahabat dihadapannya menatapnya malas karena merasa dipermainkan. “bukan tentang kehidupan pasti, dan nggak mungkin juga soal pelajaran. Ini pasti tentang Sasmaya kan?” tepat sasaran, tebakan Jeandra perlu diapresiasi.

“yak satu juta rupiah untukmu, tapi ini tidak lucu kawan, Tau Sasmaya darimana anying?” Pragaluh berekspresi bingung, ia tidak tahu mau bereaksi bagaimana. “kan kamu sendiri yang cerita pas kemaren ikuloh, nak chat.” Pragaluh lupa pernah bercerita tentang sang pujaan hati, efek umur sepertinya.

Jeandra membawa dirinya tepat ke sebelah Pragaluh, merebahkan diri untuk sedikit relaksasi. “jadi, kebodohan apa yang sudah kamu perbuat sobat?” pemuda itu peka, ia tahu pasti Pragaluh telah melakukan hal yang membuat harga dirinya terluka.

“tidak jadi ah, nanti aku ditertawakan pasti.” Ucap pemuda itu yakin. “yaelah, emang abis ngapain sih? Hal yang spesial? Kamu nyelametin dunia? Atau perang bersama alien untuk menyelamatkan peradaban? Katakan yang jelas dong, ojok bikin aku kepo.”

“Jeandra Nalajingga, pastikan kedua telingamu aktif untuk mendengar karena tidak akan ada pengulangan setelah ini. Jadi, setelah kelas online tadi aku buka lovestargram, dan menemukan akun Sasmaya-“ jelas Pragaluh belum selesai, “lalu apa yang menarik tentang menemukan akun Sasmaya?” sela Jeandra dengan tidak tahu malunya.

“aku belum selesai bicara, diam saja dan dengarkan sampai selesai.” Jeandrapun memeragakan pose sedang menutup mulut rapat-rapat, “jadi setelah akun gadis itu ketemu, AKU TIDAK SENGAJA MEMENCET TOMBOL FOLLOW” ujar Pragaluh dengan nada yang sangat menggebu-gebu.

Tawa Jeandra pecah saat itu juga, “HAHAHA, asal kamu tahu itu hal bagus! Sekarang, diantara ribuan notif yang diterima Sasmaya, salah satunya adalah notif darimu.” Ucap Jeandra dengan sedikit nada jenaka di sana.

“are you kidding me? Apanya yang bagus?” tanya Pragaluh bingung, “follow dan followback kan hal umum. Sekarang, mana ponselmu? Mari kita lihat apakah akunmu pantas untuk di-follback Sasmaya.” Dengan lancang, Jeandra meraih ponsel sahabatnya itu. Dibukanya dengan sandi, yang ia sudah hafal betul, tanggal lahir sang Bunda.

“masih tanggal lahir Bunda ya? Utututu anak Bunda.” Ejek Jeandra, ia melanjutkan membuka aplikasi lovestargram dan langsung tertawa keras setelahnya. “kenapa Ndra? Kok ketawa anying? Akunku nggak diikutin kembali ya?”

“mundur aja deh mending,  tampilan akunmu kayak akun depresi. Ava nggak ada, bio seadanya, kayak orang nggak niat bikin sosial media.” Ujar Jeandra dengan Jujur, “udah sana pulang, capek ketawa sumpah dengerin awakmu curhat.” Lanjut Jeandra sembari membukakan pintu kamar, seakan mengusir sahabatnya itu. Pragaluh hanya diam memperhatikan akunnya,berbeda dengan kebanyakan remaja yang pusing bagaimana cara mengatur sosial media, pemuda itu malah tidak menaruh atensi sama sekali.

ciut nyali

bagian lima

Sebenarnya bersosialisasi tidak pernah menjadi salah satu agendanya, namun keputusannya untuk bergabung dengan jurnalis, besar-besaran mengubah seluruh alur rencananya. Kehidupan sekolah Pragaluh berbalik pasca dirinya masuk ke sekolah itu, ia terpaksa membalas serangkaian afeksi yang diberikan oleh khalayak sekitar. Jika boleh Jujur, terkadang ia lelah. Sangat lelah.

Seperti di pagi ini, belum ada sebulan kelas dimulai, sudah ada tugas yang harus diselesaikan secara berkelompok. Pragaluh benci ramai, lebih baik sendirian. Namun tidak ada yang bisa menerka alur hidup, dan ‘tidak ingin kesepian’ adalah pernyataan yang sudah melekat di dalam diri setiap manusia. Maka beruntunglah bagi Pragaluh yang jiwanya dikelilingi banyak orang.

Karena pemuda itu sangat tidak tahu cara bersyukur, dari sekian banyak siswa yang memintanya untuk bergabung dalam kelompoknya, ia malah memilih untuk menyelesaikannya berdua saja dengan Jeandra. 

Lengannya yang ia tumpukan sebagai penyangga tiba-tiba meremang, tidak pernah ia sesenang ini ketika mendapatkan notifikasi. Iya, itu notifikasi dari pengurus jurnalis. Akan ada rapat lagi, minggu ini.

Saat membaca kata ‘rapat’ Pragaluh hanya bisa tertawa remeh, apanya yang pertemuan? Yang benar nongkrong kali. Katanya sih rapat untuk berdiskusi, ujungnya pasti cuma saling melempar canda tawa tanpa ada keseriusan sedikitpun. Terkadang pemuda itu merasa kasihan dengan sekretaris ekstrakurikuler itu, tentang apa yang bisa ia rangkum untuk notulensi.

Pemuda rupawan itu masih setia mengacak-acak isi lemarinya. Kain-kain dengan motif berbeda-beda itu seakan tak punya harga diri – dicampakkan, diacak-acak, bahkan sampai ada yang berserakan kemana-mana. Setelah dilihat-lihat, Pragaluh tak akan membereskan semua kekacauan ini nanti, dan pasti akan melemparkan semuanya ke asisten rumah tangga.

Untuk sebuah pasang pakaian, setelan itu terbilang mewah. Bukan mewah lagi, malah sangat mewah. Sweater putih dengan desain minimalis, dilengkapi celana berbahan kain berbentuk pensil yang mengerucut ke bawah. Pragaluh terlihat sangat tampan, apalagi dengan model rambut yang terkesan acak-acakan. 

Ia sedang menatap lekat pantulannya di cermin, dengan rasa percaya diri ia melemparkan banyak pujian sebagai bentuk self love tentu saja. Namun itu semua terpaksa dipukul mundur ketika menyadari bahwa Surabaya sedang terik-teriknya, ia takut bau badannya akan mengalahkan aura paripurnanya.

Ia meraih sebotol minyak wangi, dan menyemprotnya dengan rakus. Ayolah, siapa yang mengaplikasikan wewangian sampai duapuluh kali banyaknya? Pragaluh yakin orang dengan jarak sampai mataharipun dapat mencium aroma maskulinnya. Sudut bibirnya terangkat sedikit, mengingat Sasmaya yang akan ditemui sebentar lagi.

Pragaluh masih ingat sekali, bagaimana senyum yang membuatnya mendapat euforia tersendiri. Dia menghela nafas pelan, jantungnya berdetak tidak karuan. Vespa berwarna oranye terang itu membelah hiruk-pikuk kota pahlawan, melintasi segerombolan remaja yang asik meliuk-liuk tubuh mengikuti tempo dan irama. Kenangan itu kembali, memenuhi tiap jengkal kepalanya. Sasmaya gemar menari, ingatan Pragaluh kini perlu diapresiasi.

Tak ingin jatuh di lubang yang sama, ia memutuskan untuk fokus berkendara. Apalagi mempertimbangkan bila kecelakaan motor bisa saja merenggut nyawanya, ia tidak mau jadi perjaka tua tentu saja.

Motor itu memasuki gerbang sekolah, beberapa satpam sempat disapanya untuk sekedar beramah-tamah. Deru mesin itu sudah tidak terdengar, Pragaluh memastikan motornya sudah terkunci rapat dan meninggalkan kuda besi itu tanpa rasa gundah. Ekor matanya melirik ke arah jam tangan dengan harga fantastis itu, “kecepetan banget aku dateng kayaknya.”

Derap langkahnya terasa begitu bersemangat, ia berbelok sedikit untuk dapat memasuki ruangan yang di elu-elukan sebagai basecamp ekskul jurnalis. Dengan yakin ia memasuki bilik itu, dan – tidak ada orang disana. Benar-benar kosong, sepi sekali pikirnya.

Sampai satu suara lembut memasuki telinga, ia merasakan ada eksistensi lain di sekitarnya. Dengan penasaran ia mencari tahu, mulai dengan memeriksa kembali apakah ada orang, hingga berkeliling sekitar ruangan itu dengan seksama. Setelah sedikit berusaha melihat-lihat, atau mengintip lebih tepatnya, netranya tiba-tiba menyiratkan nestapa. Benar, itu Sasmaya. Tidak sendiri, dengan Moreo yang nampak seperti sepasang burung dara yang pasti saling menjaga.

“iya tauu kak, aku sisan ngerasa lucu gitu loh, cupol banget arek iku.” Pemuda itu tidak berniat menguping, anggap saja suara Sasmaya yang memang terlalu besar. “hooh, ancen lucu. Ngga ada pemikiran buat-“ oke cukup, Pragaluh menyerah. Pemuda itu tak sanggup memperhatikan keakraban itu lebih intim. Ia memutuskan menyela percakapan dengan alasan klasik penuh fana.

“permisi kak, mohon maaf. Jurnalis beneran rapat ‘kan?” pemuda itu mengeluarkan banyak sumpah serapah dipikirannya. Jika ada yang menjual muka, maka ia pasti akan membeli. Karena sekarang ia bingung mau menaruh muka rupawannya itu dimana. 

“ya iya dong? Pertanyaannya aneh banget. Baru dateng kamu Luh?” yang lebih tua beranjak, diikuti gadis manis dibelakangnya. Tatapan mereka kembali bertemu, senyumnya timbul tanpa disadari. Jikalau ini adalah dongeng anak-anak, Pragaluh rela menjadi pangeran yang akan menjemput Sasmaya menuju bahagia. Namun pemikiran kanak-kanak itu tidak lama, hatinya terasa seperti dicabik mengingat keakraban dua manusia dihadapannya ini.

Tawanya menguar seketika, sudut bibirnya terangkat dan kini netra pemuda itu nampak seperti bulan sabit. Ia merasa marah sekaligus kesal pada dirinya sendiri, bagaimana bisa ia merasakan elegi ketika melihat sesuatu yang bukan miliknya sedang bahagia. “sadar diri, goblok.” Rutuknya dalam hati.

lazuardi kasta tertinggi

bagian enam

Perbincangan terjadi dimana-mana, banyak anggota yang memutuskan membahas beberapa hal dengan serius lalu melanjutkannya dengan gurauan begitu saja. Berbeda dengan Pragaluh tentu saja, pemuda itu hanyut dalam pikirannya sendiri. Ingatan tentang kedekatan “gebetan” dan ketua jurnalis, nyaris membuatnya hampir menangis. 

Tak ada yang salah sebenarnya dari percakapan muda-mudi itu tadi, hanya obrolan sederhana yang mungkin terjadi sebagai bentuk formalitas. Namun Pragaluh telah dimakan ego, sepenglihatannya Sasmaya dan Moreo bersenda gurau layaknya sepasang kekasih yang baru saja mencinta. Dikelilingi aura romansa menggelitik, membuat jijik.

Seorang gadis asing menatap pemuda itu dari kejauhan, ia hanya tersenyum samar saat mengetahui Pragaluh seperti orang ling-lung yang tak pandai berkomunikasi. Gadis itu sadar kalau Tuhan itu adil. Bila Pragaluh memiliki kemampuan bersosialisasi, banyak pemuda lain yang akan memprotes karena sang pencipta membuatnya teramat sempurna.

Pragaluh memandangi gadis pujaan hatinya lamat-lamat, pandangan teduhnya tak bisa berbohong. Gadis itu menawan,  jelmaan dewi yunani itu tampak gusar setelah membuka ponsel dengan warna hitam itu. “kak, mohon maaf saya harus pulang duluan. Apakah boleh?” Sasmaya menjadi pusat atensi, orang-orang di sekitar hening mendadak. Dengan canggungnya ia melotot ke arah ketua jurnalis smandela, dan berharap pemuda di hadapannya akan segera memberi izin untuk meloloskannya dari atmosper tidak nyaman ini.

“ah iya silahkan, hati-hati di jalan, cebol.” Pragaluh mengernyit, ia salah dengar atau memang ketua jurnalis itu bahkan telah membuat pet name untuk gebetannya itu. Ia kesal sekali, untungnya sekarang dirinya menggunakan masker. Bila tidak, banyak orang yang akan sadar warna wajahnya yang berwarna merah padam sangking kesalnya.

Perbincangan itu kembali berlanjut, semuanya asik berdiskusi tentang topik yang berbeda-beda; mulai dari cerita random – hingga, topik mengenai projek ekstrakurikuler itu kedepannya. “ini tas punya siapa!” seru salah satu kakak kelas itu kencang, kebanyakan diantaranya menoleh dan langsung memeriksa bawaannya masing-masing.

“loh itumah punya Sasmaya kak!” jawab salah satu pemuda merespon tentu saja, mendengar nama perempuan itu disebut membuat tatapannya tak lepas dari tas kecil dengan warna dasar hitam itu, pasti buru-buru tadi pikir Pragaluh.

“Pragaluh, keberatan nggak kalau saya minta tolong antarkan ini ke rumah Sasmaya?” pertanyaan yang benar-benar menjebak, Pragaluh mengiyakan pertanyaan dari ketua ekstrakurikuler jurnalis itu, Moreo nampak sedikit tersenyum menyadari bahwa ia tak perlu bersusah hati mengantar benda itu sepulang dari sini.

Pemuda itu berdiri hendak mengambil tas yang menjadi sumber masalah, hingga gadis dengan rambut sebahu mengambil tas tersebut. Pragaluh menatapnya heran, seakan berkata “dih lo siapa?”. Gadis asing itu tersenyum, cukup manis dengan kawat yang tertaut di giginya, “aku ikut anterin ini.”

Rapat itu telah selesai beberapa saat lalu, Pragaluh melangkahkan kakinya menuju tempat parkir. “pelan-pelan kek jalannya? Kamu nggak sadar perbedaan besar nya langkah kita?” 

gadis yang mengajukan diri tadi nampak sedikit kesal, Pragaluh hanya merespon seadanya tanpa hendak berkomunikasi lebih intens. “Aku Manika, dan aku punya sesuatu hal yang akan membuatmu terpaksa meresponku-“ gadis itu nampak melihat sekitar, setelah memastikan di sekitarnya tidak ada seorang insan, ia menjinjitkan kakinya sedikit, “tadi aku ngelihat kamu nguping si Moreo sama Sasmaya loh.” Bisik manika melanjutkan.

Pupil mata Pragaluh membesar, Jujur saja ia sangat terkejut. Bagaimana bisa ada yang menyadari kalau ia sedang dengan lancangnya mendengar. “kalau kamu memang tidak mau aku sebar, perlakukan aku dengan baik ya.” Oke, Pragaluh terjebak. Ia tak bisa menjawab apa-apa selain menuruti kehendak gadis itu.

Motor yang dinaiki Pragaluh dan Manika melintasi beberapa jalan perkampungan, mereka menikmati sunyi kota pahlawan di petang hari ini. Langit mendung yang sebentar lagi akan berwarna jingga kekuningan itu tidak menunjukkan pertanda akan hujan. Kecepatan motor itu sangat standar, namun Manika mengambil kesempatan mengeratkan pegangannya pada pinggang Pragaluh.

poros cedera

bagian tujuh

Selama perjalanan, kedua anak adam itu memutuskan berkomunikasi. Mereka saling berbincang sambil bertukar cerita. Tak diduga mereka punya tingkat humor yang sama, percakapan berlanjut hingga Manika bertanya hal yang sangat personal.

“Pragaluh nggak punya pacar ya?”

Kalimat tanya sekaligus sindir yang dilontarkan Sasmaya pada pemuda yang sedang asyik berkendara, “nggak, susah cari pacar.” Tolong pegangi Manika sekarang. Jawaban merendah untuk meroket Pragaluh membuat gadis itu nampak kesal, “Luh, kamu lek mau pacaran tinggal nembak salah satu fansmu ae wes intuk pacar anyar anying!” 

Tawa keduanya pecah disana, Pragaluh yang menertawakan candaan gadis manis di jok belakang, dan Manika yang menertawakan nasibnya. Setibanya mereka, dua manusia itu berjalan perlahan mengikuti arahan yang diberikan aplikasi maps pada gawai. Semua rumah nyaris serupa, muda-mudi itu cukup bingung akan rumah yang sedang mereka tuju.\

“AKKHHHH CUKUP PAPAHH” sebuah teriakan keras menarik atensi keduanya, “Galuh, turun dulu.” Ucap Manika yakin. Pragaluh mengangguk sebagai respon, motor itu sekarang terparkir rapih di bahu jalan.

Mereka berdua sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi, dilangkahkannya tungkai kedua remaja itu berlari ke arah sumber suara. “itu suara Sasmaya anying, kamu bisa lari lebih cepet gak?” perintah Pragaluh, dan pemuda itu meninggalkan Manika di belakang karena ia mempercepat langkah kakinya. 

Suara tangis Sasmaya begitu terdengar, dengan reflek bodohnya Pragaluh malah mendobrak pintu kayu mahoni itu dan bersikap layaknya seorang pahlawan. Manika yang baru saja selesai berlari, menetralkan nafas. Kedua remaja itu nampak terkejut dengan apa yang mereka lihat sekarang, benar saja seorang lelaki paruh baya tega memukuli anaknya sendiri dengan tidak tahu kemanusiaan, Sasmaya meringkuk di lantai sembari memeluk erat adiknya seolah Sasmaya ingin menjadi perisai hidup yang lebih muda.

Pragaluh harus bertindak, ia tak boleh terdiam begini saja. Dilemparnya tas Sasmaya ke arah Manika dan berhasil tertangkap sempurna, sementara pemuda itu mengambil lompatan ke arah pria paruh baya di seberang sana dan melayangkan sebuah bogeman mentah tepat mengenai tulang pipinya.

Ia kaget melihat keparat itu memiliki stamina yang lumayan, tidak terjatuh pada pukulan pertama adalah sebuah pencapaian. “SIAPA ANAK BODOH INI? BERANI SEKALI KAMU! BISA-BISANYA MEMUKUL ORANG TUA, RASA HORMATMU DIMANA?” bentak Papa Sasmaya itu sembari mencoba mengabaikan denyut karena pukulan pemuda rupawan di hadapannya.

“maaf pak tua, sepertinya saya hanya bisa menghormati orang yang pantas saya hormati.” 

“gila hormat banget dih.” Itu Manika, ia bersuara sejenak setelah mendengar penuturan pria tua itu. Aksi pukul-pukulan pun terjadi, tanpa mendramatisir sepertinya Pragaluh tak akan bisa pulang dengan wajah mulus nantinya. Pukulan di balas dengan pukulan, tendangan terus berterbangan sebagai bentuk perlindungan diri.

“anak muda jaman sekarang tidak tahu etika ya?” ujar lelaki busuk itu, pertarungan dirasa semakin sengit. Sudah lama Pragaluh tidak menggunakan kemampuan boxingnya itu, ia merasa cukup bangga dapat menggunakan beberapa ilmu sederhana.

Papa sang pujaan hati sudah nampak letih, ia kesulitan mengambi nafas dan dapat dilihat dengkulnya yang bergetar karena terlalu lama dibuat berdiri. Merasa kesempatan emas itu datang, Pragaluh dengan percaya dirinya melayangkan pukulan ke atas tepat di dagu pria itu, akibatnya bedebah itu tersungkur beberapa meter. Tanpa mengurangi rasa hormatnya, ia terus melayangkan beberapa tinjuan ke arah wajah pria busuk itu. Kenangan Sasmaya yang dianiaya memenuhi setiap jengkal kepalanya.

“udah Galuh, tenang. Nanti dia bisa mati.” Manika mengambil beberapa langkah mendekati pemuda tampan itu. Manika membisikkan beberapa kalimat penenang agar Pragaluh tidak dikuasai ego kembali – hingga suara sirine polisi yang sangat ramai memasuki indera pendengaran mereka.

“hah? Polisi? Apa yang terjadi, siapa yang telfon pol-“ ucapan Manika terpotong, ia melihat lengan ringkih Sasmaya yang memegang ponsel di belakang sana. “GILA YA KAMU? NGGAK TAHU TERIMAKASIH BANGET?” bentak manika, Sasmaya menelfon polisi dan mengirimkan laporan bahwa Papanya dianiaya oleh sekelompok pencuri.

Sebenarnya gadis itu lelah terus dipukuli, namun hati nuraninya mengatakan kalau pria paruh baya itu tetap Papanya. Ia merasa sudah melakukan hal yang benar, cukup bertahan beberapa tahun lagi, dan Sasmaya akan pindah dari sana. 

Polisi dengan sigap memasuki rumah minimalis itu, meringkuk Pragaluh selayaknya bedebah yang pantas dipidana. Manika berdiri, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun nihil Pragaluh tidak bisa dilepaskan, dan dituduh atas kasus pembunuhan berencana.\

Sebelum Papa Sasmaya di bawa kerumah sakit, Manika berteriak ke arahnya. “KALAU MAU MENGAJARI ANAK ITU DIRANGKUL, JANGAN DIPUKUL BEGO!” setelah itu Manika menelfon ambulans yang akan membawa pria paruh baya itu untuk mendapat beberapa perawatan eksklusif.

Tas Sasmaya dilemparnya abstrak, ia sangat kesal tentu saja. Diraihnya gawai miliknya dan mengabari papa mamanya mengenai kejadian ini. Ia membelah jalanan Surabaya menggunakan kuda besi kesayangan Pragaluh. Mengingat wajah sendu dan linglung pemuda rupawan itu, membuat ia meringis di dalam hati, “anjing banget Sasmaya ...”

sirkus dunia

bagian delapan

Pragaluh menyandarkan punggung pada dinding putih polos di belakangnya. Perlahan ia rapikan kembali benang-benang kusut yang berantakan di dalam kepalanya. Perihal benang kusut, Sasmaya adalah orang yang paling hebat membuatnya menjadi rumit. Jujur, ini membuat Pragaluh kepPapaan. Nyaris gila rasanya. Seorang gadis yang ia bela dengan berani, malah menuntunnya ke dalam sel sialan ini.

Ia menarik rambutnya kuat-kuat sampai kepalanya tertunduk. Diam-diam air matanya mengalir. Ia menyerah merasakan dadanya penuh sesak, kepalanya berteriak, sedang mulutnya hanya mampu terkatup-katup tanpa suara.

Mulai hari ini, ia berjanji akan membuang jauh-jauh Sasmaya dari pikirannya. Sangat jauh. Ke tempat antah berantah paling asing di muka bumi ini.

"Ayo bangun! Silahkan keluar, ada yang menjengukmu." teriak salah seorang polisi penjaga sel tempatnya kini mendekam seorang diri. Pragaluh terkesiap. Tak pelak, ia menegakkan tubuhnya dari pembaringan yang hanya berupa anyaman tikar kasar yang membuat punggungnya sakit-sakit.

"Siapa, Pak?"

"Temui aja di depan! Nggak usah banyak tanya!" pria berseragam itu berceletuk sinis sambil membukakan pintu sel Pragaluh. Sedangkan Pragaluh sendiri bingung bukan kepalang dirubungi pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di kepalanya.

"Bukan perempuan, kan, Pak?"

"Memang kalau perempuan kenapa? Alergi kamu ketemu perempuan?"

"Enggak, sih, Pak. Cuma nanya—" Pragaluh menjeda kalimatnya. Otaknya seolah berhenti sejenak untuk menimang-nimang sesuatu.

"Ngomong-ngomong, saya dibebasin, nih?" lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. Yang langsung dibalas pelototan oleh pria di hadapannya. "Kamu nggak dengar saya bicara apa?"

Pragaluh mengangguk yakin, "Dengar."

"Ulangi kalimat saya!"

"Kamu nggak dengar saya bicara apa?"

"Lah, kok, malah balik nanya! Bocah sinting!" pria itu bersungut-sungut, wajahnya nampak merah padam. Kalau saja kepalanya dirakit oleh manusia, mungkin sudah mengepul asap dari sana.

"Lah?"

"UDAH CEPET SANA KELUAR! SAYA CAPEK NGOMONG SAMA KAMU!"

Pragaluh tersentak, untung saja tak sampai lari terbirit-birit karenanya. Ia hanya cengar-cengir di posisinya sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. "Pak, boleh nanya lagi, nggak?"

"Banyak omong kamu! Saya penjarain seumur hidup baru tahu rasa!"

Pragaluh cekikikan sendiri, ia menutup mulutnya rapat-rapat agar tak sampai ke pendengaran pria tua itu. "Kalau saya dipenjara seumur hidup, nanti kasihan bapak malah naik darah ketemu saya terus."

"Bocah edan!"

Pragaluh melewati pria itu sambil terkekeh, rasanya seolah sudah lama sekali ia merasakan jiwa dan raganya terkukung di dalam jeruji besi. Temannya hanya sepasang bantal-guling keras yang tidak nyaman digunakan untuk merebahkan kepala. 

Dalam perjalanan melintasi lorong-lorong panjang, lelaki itu masih saja gugup menebak perihal siapa yang menjenguknya ke tempat dimana sebagian orang menghabiskan waktu sampai tubuhnya membusuk. 

"Halo, Pragaluh. Bagaimana perasaanmu di dalam sana, Nak? Kamu menikmatinya?" sapa Papa Pragaluh yang duduk di kursi khusus tamu. Keduanya terdiam tatkala Pragaluh tiba-tiba membuang muka. Senyap menyelimuti atmosfer di sana.

"Kamu nggak mau berterimakasih sama Papa?" Pria itu melengkungkan bibirnya. Netra serta atensinya terpusat sempurna pada lelaki di hadapannya yang enggan diajak bicara.

"Udah puas bikin ulah? Nggak apa-apa kuras terus harta Papa. Toh, nanti kalau Papa mati bakal diwariskan ke kamu juga, kan?"

"Pa ..." sanggah Pragaluh lemah, lelaki itu hanya bisa mengetuk-ngetuk lantai dengan ujung sepatunya. Ia tidak tahu bagaimana cara menerjemahkan isi pikirannya saat ini. 

"Apa, Nak? Udah kepikiran mau bikin ulah apa lagi?"

"Pa ... Galuh nggak sejahat itu, Pa. Galuh masih waras." Pragaluh menangkap garis-garis kerutan di wajah Papanya. Sosok yang kini menatap dirinya dengan penuh kecemasan itu membawa Pragaluh hanyut di dalam netranya.

"Kalau kamu baik, kenapa kamu gampang banget melakukan kekerasan, Galuh? Papa ngajarin kamu memukul orang tua?"

"Kapan Papa bisa percaya sama Galuh? Seribu kali Galuh menjelaskan nggak akan bikin Papa percaya sama Galuh."

Papa Pragaluh tertawa kecut, biarkan genangan di pelupuk matanya bersuara perihal kondisi hatinya saat ini. "Nak, kapan kamu mau Jujur sama Papa?"

Galuh terdiam. 

"Kamu selalu berbuat sesukamu sendiri, Galuh. Dan Papa yang selalu membayar mahal untuk itu."

Ia merasakan tubuhnya seperti dialiri listrik. Saraf-sarafnya bergetar luar biasa. Kalimat itu tepat menyentuh ulu hati Pragaluh.

"Makasih udah nurutin semua keinginan nekat, Galuh."

Papa Pragaluh tersenyum miring, ditatapnya anak yang ia besarkan dengan penuh kasih ini tumbuh semakin berandal.

"Makasih aja belum cukup, Galuh."

"Terus Galuh harus apa, Pa?"

Pria yang usianya kini menginjak kepala empat itu hanya melemparkan senyum tipis, lantas diraihnya bahu anak semata wayangnya ini ke dalam dekapannya. Hangat pelukan itu seolah menidurkan pikirannya untuk sesaat. Membawanya lari dari kenyataan-kenyataan pahit nan menyakitkan yang dihidangkan Sasmaya untuknya.

"Papa nggak minta hal besar dari kamu, Galuh. Papa cuma ingin kamu jadi anak yang penurut. Itu pun kalau kamu nggak keberatan."

Mobil yang ditumpangi Pragaluh melaju cepat membelah jalanan lengang. Lagi-lagi, Pragaluh merasa sepi. Papanya tak sekali pun memancing obrolan. Dan Pragaluh merasakan sejak beberapa jam lalu, ada jurang tak kasat mata yang membentangkan jarak keduanya. 

"Papa, udah makan?"

Papa Pragaluh menoleh sekilas, lalu tertawa kecil. "Udah, Nak. Kamu belum makan?"

Pragaluh menggeleng cepat, "Udah juga."

"Lagi ngapain, Pa?" tanya Pragaluh spontan. Bahkan setelah mengucapkan kalimat itu, Pragaluh baru menyadari bahwa ini adalah pertanyaan terbodoh sepanjang jarak pluto ke matahari. Lelaki itu langsung membuang mukanya pada kaca mobil di sampingnya.

"Kamu kenapa, sih, Galuh?"

Pragaluh menepuk jidatnya, sembari memejamkan mata.

 "Aneh, ya, Pa? Lanjut aja, Pa, nyetirnya."

"Ya ini Papa lagi nyetir. Kamu pikir dari tadi kita terbang?"

"Eh ... em ... maksudnya anu, Pa ..."

Papa Pragaluh diam. Enggan meladeni celotehan Pragaluh yang sia-sia. Dan, Pragaluh sendiri merasa kikuk di tempat duduknya. Sudah sepersekian kali dirinya mencoba mengajak Papanya untuk masuk ke dalam ruang yang penuh dengan pernyataan-pernyataan Pragaluh perihal kejadian kala itu. Ia ingin Papanya mengerti betapa riuhnya ruang itu di kepalanya saat ini. Mereka berebut untuk disuarakan. Namun, nihil. Tak ada yang berhasil dituturkan. 

Lidahnya kelu, apa pun kalimat yang ingin dihantarkannya melalui lidah yang beradu dengan langit-langit mulut, tertelan lagi.

"Papa ..."

"Sebenernya Galuh nggak bermaksud menyerang aki-aki jelek itu."

"Galuh! Mulut kamu jangan dibiasakan merendahkan orang lain." sang Papa menitik pada iris mata Pragaluh. Sedangkan si empunya menunduk. Menghindari kontak mata dengan Papanya. "Maaf, Pa. Galuh marah sama orang itu. Dia menganiaya temen Galuh, Pa. Kalau Papa jadi Galuh pasti Papa ngelakuin hal yang sama, kan?"

"Enggak, Galuh. Kamu salah. Jangan pernah melibatkan diri kalau kamu nggak diizinkan. Kamu sama sekali nggak berhak mencampuri urusan pribadi orang lain."

"Sekali pun orang itu adalah orang yang kita anggap penting di hidup kita? Kita tetap nggak boleh melibatkan diri untuk membantu menyelesaikan masalahnya?"

Sang Papa melirik Pragaluh sekilas, wajah Pragaluh memancarkan emosi yang luar biasa dalam. Dadanya berdebar naik turun sejak tadi. Bahkan urat-urat tangannya ikut berkontraksi. 

"Enggak, Nak. Kalau dia nggak mempersilahkan kamu membantunya berarti kamu nggak punya peran penting di hidupnya."

Pragaluh terdiam seribu bahasa. Kenapa ia baru menyadari itu sekarang?

Papa Pragaluh melemparkan senyum tipis, netranya kembali terpusat pada tuas kemudi di hadapannya. "Lain kali jangan gegabah lagi, Nak."

Pragaluh mengangguk singkat, matanya tak berpindah dari kaca mobil yang menyuguhkan lalu lalang kendaraan. “sewaktu di penjara, pertama kali mengharap pertolongan ke siapa?” Papa bertanya, menatap putranya dalam.

“Papa lah? Siapa lagi.” Ujar Pragaluh yakin

“Nak, kalau kamu lagi ada butuh, pasti selalu Papa penuhin. Kalau kamu lagi ada maunya, pasti selalu Papa usahain buat mengabulkan apa yang kamu mau,

“Papa aja begitu, apalagi Tuhan?” Pragaluh yang mendengar hanya bisa tersenyum kecut, ia terkadang lupa kalau figur Tuhan adalah hal paling penting selama berada di buana penuh nestapa ini.

"Galuh, Papa nggak senang kamu berkumpul dengan teman-teman di sana." Pria paruh baya itu mengalihkan pembicaraan.

"Temen-temen yang mana, Pa?"

"Teman-temanmu di SMA itu, Nak. Papa nggak suka."

"Ya udah, nanti Galuh nggak temenan lagi sama mereka."

"Bukan itu permintaan Papa, Galuh."

"Terus apa, Pa?" Pragaluh menilik kursi kemudi, ia tak menemukan netra Papanya tertuju padanya. "Papa minta Galuh nurut, kan? Iya kali ini Galuh nurut sama Papa."

Papa Pragaluh sumringah, diusapnya pucuk kepala Pragaluh pelan-pelan sambil menyusun kalimatnya satu-persatu.

"Galuh ... Papa mau kamu pindah sekolah."

"Lingkungan itu nggak baik buat kamu, Nak."

Pragaluh tercengang, guratan di keningnya terlihat berlapis-lapis. "Ini hukuman buat Galuh, Pa?"

"Bukan, Nak. Kamu hanya dievakuasi."

"Dievakuasi dari apa, Pa? Di sini Galuh baik-baik aja."

"Enggak, Galuh. Dari awal, lingkungan itu bukan tempat yang bisa kamu tinggali. Kejadian ini termasuk peringatan untuk kamu, terutama Papa. Bahwa seandainya ada tempat lain yang lebih baik, kamu harus jadi salah satu penghuninya."

Pragaluh menghela napasnya berat, "Pa, gimana kalau Galuh nolak permintaan Papa yang ini?"

"Kamu keberatan?" Papa menyela, tak pelak membuat Galuh terdiam lagi. Tolong beri tahu dirinya bahasa paling manis yang bisa membuat Papanya luluh dengan penolakan. Pragaluh menyerah. 

"Kalau Galuh nolak juga nggak bakal diterima sama Papa."

"Papa nggak suka penolakan, Galuh. Kamu tahu itu. Tapi, kamu selalu melakukannya."

pertama dan utama

bagian sembilan

Setelah berada di depan rumah bersama Papanya Pragaluh segera mengetuk pintu. Dibalik daun pintu tersebut ada seorang wanita paruh baya dengan wajah cemas berjalan bolak balik dari ujung ke ujung yang lain. Raut wajah khawatir dan cemas memikirkan kondisi anak semata wayangnya, kedua teman Pragaluh juga ada di rumah tersebut mereka sedang menonton tv di ruang tengah dengan semangat dan melupakan kecemasan yang ada sebelumnya.

“Bundaaaa,  Juju pulang” ucap Pragaluh sambil mengetuk pintunya

Sang Bunda yang mendengar suara anaknya segera bergegas untuk membukakan pintu anak dan suaminya

“iyaa Ju sebentar.” Jawab Bundanya dengan membukakan pintu dan segera memeluk sang anak. Dibubuhkannya beberapa kecupan pada lebam biru yang terletak di wajah rupawan putra semata wayangnya.

“udah Bun nanti lagi mending kita masuk dulu jangan di depan pintu begini, kasian Juju.” Ucap sang Papa meninggalkan istri dan anaknya agar masuk rumah.

“Juju gapapa kan? Kenapa kamu bisa ditangkap polisi Ju? Kamu sudah makan belum?” Tanya Bunda beruntun karena khawatir dengan anaknya.

“Bunda tenang dong Bun, tanyanya satu satu Bun Juju bingung nih mau jawab yang mana dulu?” ucap Pragaluh dengan berusaha menenangkan Bundanya.

“iya nih Bunda masa pertanyaannya begitu banyak, yang ditanyain cuman Juju aja suaminya gak ditanyain.” Ucap sang Papa dengan berpura-pura ngambek untuk membantu Pragaluh menenangkan Bunda.

“ngapain Bunda nanyain Papa, lagian Papa juga cuman menebus Juju aja kan?” jawab Bunda yang sudah lebih tenng dari sebelumnya.

“yaudah deh Papa males disini mendingan Papa masuk kamar aja.” Papa pergi masuk kedalam kamar dan meninggalkan anak semata wayangnya bersama Bunda.

“kan mulai nih ngambeknya.” Ucap Bunda yang mengejek sang suami

“oh iya … Bunda sampai lupa kan Juju gapapa?” Tanya Bunda yang teringat kembali bahwa anaknya baru saja pulang dari kantor polisi.

“Juju gapapa kok Bun, Bunda kan tau Juju gak bakal melakukan hal – hal yang menyusahkan Bunda apalagi yang bikin Bunda sedih.” Jawab Juju dengan santai agar Bunda tidak khawatir.

“emang kenapa Ju kok kamu bisa masuk kantor polisi?” Tanya Bunda lagi, karena belum tau bagaimana kronologi yng terjadi

    Pragaluh menjelaskan semuanya dari awal hingga akhir tanpa ada yang ditutupinya kepada Bunda, Pragaluh merasa lega setelah menjelaskan semuanya kepada Bunda dan Pragaluh janji bahwa ini terakhir kalinya dia berurusan dengan kantor polisi karena kekhawatiran dan kecemasan Bunda yang bisa membuat Pragaluh sedih. 

“Kenapa kamu gak jelasin ke pihak kepolisian sih Ju kalo kamu sebenarnya gak salah?” Tanya  Bunda setelah mendengarkan penjelasan dari Pragaluh.

“Buktinya udah kelihatan Bun kalau Juju yang bersalah meskipun Juju jelasin panjang lebar tetap saja Juju bakal ditangkap Bun, apalagi yang ngelaporin kan anaknya sendiri aku bisa apa Bun?” jawab Pragaluh dengan tetap tersenyum agar Bunda tidak ikut sedih.

“iya juga sih, kalau gitu mending kamu gak usah deh deket – deketan lagi sama sasmaya! meskipun dia berprestasi tapi ia gak tau terimakasih tadi sebelum Papa menebusmu, Bunda sama Papa sudah bicara dan akan menyekolahkanmu diluar negeri supaya kamu jauhi sasmaya.” Ucap Bunda dengan tegas kepada Pragaluh agar menuruti keinginannya.

“kok begitu sih Bun? Selalu aja mutusin apa-apa nggak pakai persetujuan.” Jawab Pragaluh 

“kamu nggak bisa ya lebih milih Bunda dari pada Sasmaya? Nggak bisa ya Ju ...” Tutur Bunda menyiratkan nestapa

Pragaluh terdiam.

“Mungkin aja Sasmaya melakukan ini semua agar aku tidak mencampuri urusannya Bun atau supaya Papanya Sasmaya tidak melakukan hal yang sama kepadaku Bun.” Lanjut Pragaluh tetap memberikan pengertian kepada Bundanya.

“Ini udah keputusan Bunda sama Papa Ju, Juju harus nurutin perintah Papa sama Bunda.” Tegas Bunda kepada Pragaluh agar Pragaluh mengikuti keputusan yan telah dibuat bersama suaminya.

“Sudah sana masuk di ruang tengah ada Jeandra dan Manika.” Lanjut Bunda sebelum ninggalin Pragaluh yang masih berdiri di ruang tamu. Pemuda itu menghela nafasnya kasar.

    Setelah memutuskan hal tersebut Pragaluh segera bergegas untuk menemui sahabat karibnya yang sedang menonton Televisi di raung tengah, Setelah Pragaluh berada di ruang tengah dia melihat teman – teamannya sedang serius menonton Televisi terlintas dipikirannya untuk menjahili kedua  sahabat karibnya tersebut.

“mereka serius amat nonton TVnya apa mereka gak khawatir sama aku? Mending aku jahilin aja deh biar mereka kapok, udah tau sahabatnya ditangkap polisi mereka malah asik menonton tv.” Batinnya dengan senyum kejahilan yang dia tunjukkan.

    Pragaluh perlahan-lahan mendekati stop kontak untuk mencabut kabel TVnya agar mereka pikir TVnya rusak, setelah dekat dengan stop kontak Pragaluh segera mencabut kabelnya dan kembali ke ruang tamu agar kedua sahabat karibnya tidak tau bahwa Pragaluh lah yang mencabut kabelnya.

“Manika kok mati sih TVnya, apa Tvnya mbok apakno?” Tanya Jeandra kepada Manika

“Aku juga gak tau, gimana nih kalo Bunda sama Papa Pragaluh datang?” Balas Manika dengan pikiran-pikiran negatifnya, “ Yah yaapa iki, kayaknya kita kena karma. “ sambung gadis manis itu.

“lek semisal di suruh ganti, aku ora gowo cash anying.” Ucap Jeandra dengan raut muka pasrah. Dengan panik ia membuka dompet dan hanya terdapat beberapa lembar uang merah disana

“anjiiiiiiiing.” Manika juga ikut pasrah seperti Jeandra

    Ketika kedua sahabat karib Pragaluh kebingungan dengan TV yang tiba – tiba mati Pragaluh kembali masuk ke ruang tengah dan menyapa kedua sahabatnya

“Jeandra…. Manika…..” Ucap Pragaluh ketika sampai di ruang tengah, 

Kedua sahabat karibnya yang sadar akan kedatangan Pragaluh pun langsung berteriak memanggil Pragaluh dan berlari mendekati Pragaluh umtuk memeluknya dengan penuh perasaan haru.

“Galuh!” Teriak kedua sahabat karib Pragaluh yang sedih karena Pragaluh masuk kantor polisi, seakan mendramatisir mereka berpelukan seperti tidak ada hari besok.

“Udah ah peluk-pelukannya kayak teletubis.” Ucap Pragaluh ditengah tengah pelukannya, karena merasa panas secara serentak menurunkan rangkulan yang begitu erat tadi.

“Bentar dulu, kan kita masih kangen, lagian kamu ada-ada aja sih Luh, ngapain coba pakek masuk penjara segala kayak orang ga ada kerjaan aja sih “ gerutu Jeandra bersungut-sungut

“ Yah lagian aku juga mana tau bakal sampe masuk penjara ... “ 

Galuh segera pergi ke kamar nya guna membersihkan tubuh nya yang terasa sangat lengket. Tidak butuh waktu lama untuk Galuh menyelesaikan kegiatan nya, ia segera turun kebawah dan bergabung dengan keluarga serta teman-teman nya yang sudah sukarela menunggu nya untuk makan bersama, mereka makan dengan khidmat dan menikmati momen tersebut detik demi detik.

“Galuh makan yang banyak ayok, kamu keliatan kurus banget pasti disana makanannya ga enak kan”  ucap sang Bunda dengan wajah cemas

“Yaiyalah bun, kalo di penjara makan enak ya semua orang juga ga bakal keberatan buat masuk penjara, Bunda ada-ada aja sih” Galuh dan kedua temannya memperhatikan perdebatan dua orang paruh baya tersebut, harmonis sekali bukan?

Setelah selesai dengan kegiatan makan bersama kini Galuh dan teman-teman nya sedang bersantai di sofa depan tv sembari melegakan perut mereka yang begah karena kekenyangan dan tak lupa dengan Manika dan Jeandra yang berusaha untuk mengalihkan perhatian Galuh agar tidak ketahuan jika mereka sudah merusak fasilitas dirumah Galuh dan tentu saja Galuh peka akan hal itu hingga mengharuskan ia menahan tawanya agar tidak meledak begitu saja melihat kelakuanku kedua sahabatnya itu.

“Eh, kita main kartu aja gimana? Yang kalah beliin mekdi“ usul manika

“gaslah, kalian kalau kalah jangan menangis yaa“ sambung Jeandra dengan nada jenaka

“semoga aku menang, aamiin paling serius.” Ucap manika. “halah, mau amin paling serius begimane dah. Ibadah sama doa aja jarang ‘kan?” Jendra berucap, dan karena geram, Manika menjambak rambut pemuda bermulut lemes itu.

Sedangkan Galuh, ia hanya pasrah saja terhadap keduanya dan memilih untuk menuruti mereka merdua karena pada ujungnya dirinya juga yang akan dimanfaatkan oleh kedua sahabatnya itu.

perihal afeksi mati

bagian sepuluh

Setelah hari kemarin yang cukup panjang, mulai dari bagian penuh nestapa dan fana – sampai dimana ia merasakan sedikit kehangatan, karena menghabiskan waktu dengan “sahabat” kata orang-orang. Pragaluh selalu menghabiskan sisa harinya hanya untuk menyaksikan kebahagiaan yang tak pernah dijumpai, ia yang merasa tak pantas menjadi tokoh utama dalam kehidupannya sendiri.

Di bawah guyuran air, dirinya tenggelam. Dalam artian, hanyut pada ketenangan. Di jam-jam afdol begini, Pragaluh memutuskan untuk mandi. Pikirannya tenang, ketika percikan air dengan perlahan mengenai ujung-ujung rambutnya yang berdiri.

Dibalurkannya sabun secara merata pada seluruh anggota tubuh, tak ada celah yang terlewati. Pandangannya terpaku, pikirannya entah ada di antah-berantah mana. Sudut bibirnya terangkat, sedikit tertawa renyah mengingat permainan kartu tadi malam. Hingga terganti dengan ringisan karena mengingat tubuh ringkih Sasmaya yang penuh lebam dengan kejinya menelfon polisi dengan tuduhan palsu kepadanya.

Rasa yang sudah memupuk, hilang entah kemana. Afeksi yang dengan senang hati terpancar, sekarang enggan menampakkan diri. Gadis itu tidak salah, ekspetasinya kepadanya adalah masalah. Pragaluh lelah, ia sekarang menjadi takut membiarkan hatinya bermuara kembali.

Handuk tipis dipakai Pragaluh untuk melindungi tubuhnya, ia keluar bilik kamar mandi dengan santainya – hingga Manika berteriak kaget melihat pemuda rupawan itu nyaris telanjang.

“KAMU NGAPAIN WOI?” teriakan itu meraung. Jeandra reflek menutup kedua netra Manika dengan telapak tangannya, dan memberikan Pragaluh isyarat untuk segera memakai baju, dengan kecepatan secepat turbo sekarang Pragaluh telah memakai kaos oblong hitam dengan celana pendek khas rumah.

“pada ngapain kemari?” tanya pemuda itu, tangannya terulur mengeringkan rambutnya yang basah.

 “ayo berenang, Luh. Aku dapet tiket dari papa.” Tutur Jeandra, “makan dulu aja ya? Hanamasa, please.” Ucapan penuh pengharapan itu hanya mendapat respon gelengan heran.

Mereka kini telah siap, Bunda memberi izin dan berjanji tak akan mengadukan ke Papa kalau anaknya itu pergi keluar selama ia tak ada di rumah. Semoga saja Bunda benar-benar menutup mulut.

Mobil dengan tipe mercedes benz vito meninggalkan pekarangan rumah presdir mitsushaka. Mereka merencanakan hari penuh kesenangan untuk kenangan Pragaluh sebelum meninggalkan mereka di tanah air tercinta ini.

Lagu nadin amizah menduduki tangga lagu paling tinggi minggu ini, Manika memutar lagu sorai milik mbak nadin, “sorai ‘kan?” tanya Jeandra, “lah tau, anak indie apa gimana?” sambung Manika.

“pura-pura indie sih lebih tepatnya” itu Pragaluh, ia melemparkan ejekan ke arah Jeandra, “diem, tak lakban sisan lambene.” Jeandra melemparkan pandangan tajamnya, namun Manika juga Pragaluh bukannya merasa takut malah tawa mereka pecah saat itu juga.

Semesta, biarkan ketiga putra-putri bumi itu menebar harsa sehari ini saja. Melupakan nestapa yang telah kau takdirkan, tidak semudah yang dibayangkan ternyata.

deklarasi penuh nestapa

bagian sebelas

“bun, ini aku harus banget ikut ke sekolah?” tanya Pragaluh dengan ragu, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “kalau semisal Juju di rumah aja boleh nggak?” 

Yang ditanya melemparkan pandangan tidak suka, “kamu nyuruh Bunda ngurus sendiri?”

Pragaluh menghela nafasnya pelan, kalau sudah seperti ini bagaimana bisa ia menolak. Tentu saja dirinya tak ingin menjadi malin kundang yang tak menuruti perintah orang tua. “Juju ikut deh, nemenin Bunda.” Wanita itu mencium kening putranya sebagai respon, karena sudah terlalu sering mengusak rambut buah hatinya.

Pragaluh bersyukur mempunyai orang tua seperti Bunda, yang siap menangkap ketika jatuh, yang siap mendukung ketika hendak menyerah, atau bahkan Bunda yang bersikap selayaknya teman sejawat. Bunda tak pernah keberatan apapun itu permintaannya, Galuh merasa senang, Bunda pasti merasa cukup.  

Mobil dengan kecepatan rata-rata yang ditumpangi Pragaluh dan sang Bunda, membelah jalanan Surabaya. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, membiarkan suara penyiar radio menemani sunyi pagi ini.

“Bun, nanti kalau di sekolah nggak mau nunggu di ruang guru ...” Pragaluh dengan tatapan memelasnya, adalah keindahan yang sesungguhnya. Bunda yang melirik ke arah buah hatinya itu tak tahan dengannya karena gemas, “lucu banget anak bunda! Iya, kamu nggak apa kalau mau keliling tapi pas Bunda call harus ngangkat ya?” Pragaluh tersenyum, ia senang tentu saja. “ay ay captain”

Sekolah dengan luas sekitar dua hektar yang akan ia rindukan, sedih rasanya harus berpisah seJujurnya. Banyak kenangan disini, dengan kelas, dengan jurnalis apalagi. Semoga di kehidupan selanjutnya, bertemu kembali layaknya siswa biasa yang akan menuntut ilmu disini sampai tuntas, amin.

“Ju, Bunda menghadap kepsek dulu. Kamu terserah mau ngapain.” Wanita paruh baya itu keluar dari mobil, langkah anggunnya berjalan ke arah kantor tempat para guru bekerja. Pragaluh bosan, ia sudah berada di dalam mobil hampir satu jam lamanya. buka imess, lovestargram, dan chik-chok ia lakukan secara berulang, matanya sampai nyeri memandang layar gawai terlalu lama.

“keluar aja deh ...” ucap Pragaluh, ia meliukkan badan sejenak. Di hirupnya udara segar lalu melangkahkan kaki berkeliling sekolah itu dengan seksama. Netranya terpaku pada keindahan alam di sekolahnya – sampai suara gadis yang tak ingin ditemuinya, memasuki indera pendengaran. 

“Galuh?” benar, itu Sasmaya. Alis pemuda itu menukik tajam, menyiratkan ketidaksukaan yang mendalam. “maaf, kemarin aku be-“ belum selesai gadis itu berbicara, Pragaluh memotong ucapannya.

“berhenti ya Sasmaya? Aku kemarin hancur bukan salahmu. Jadi, tolong jangan rendahkan harga dirimu untukku sekalipun.” 

Sasmaya menangis, air matanya menitik deras. Pragaluh enggan menatapnya, ia benci melihat wanita yang tak berdaya, hatinya sedikit merasa sakit. Gadis itu mencoba menenangkan dirinya sendiri, mengucapkan beberapa kalimat yang berhasil mencuri atensi pemuda itu,

“harus punya tulang yang kokoh dan hati yang kuat, itu yang selalu mamah ucapin”

Pragaluh menatap gadis itu dalam, perasaan iba mengapung begitu saja. Kedua pelajar itu terperangkap dalam atmosfer canggung. Tidak ada yang bersuara, kecuali Sasmaya yang menangis tiba-tiba.

“aku suka kamu” tiga kata dengan makna dalam itu terlempar ke pemuda rupawan disebelahnya. Ia tidak terkejut, namun hanya sedikit tidak menyangka saja mendapat pengakuan begitu.

Bagaimana dia bisa tau? Sekitar tiga bulan kemarin, saat jurnalis. Divisi nya mengalami masalah yang lebih sulit daripada yang lain, ketua jurnalis saja tidak acuh, namun gadis itu, benar-benar membantu. tanpa sepeserpun imbalan, bahkan rela dipanggil pada pukul sepuluh malam untuk rapat dadakan, saat itulah Pragaluh menyadari ternyata ia tidak jatuh sendirian. seorang Diajeng Sasmaya Ayu, juga jatuh.

Kembali ke masa kini, Pragaluh menjawab pernyataan gadis itu, "i love you too early, and you love me too late, Sasmaya.” 

Nona menyanyikan elegi dengan penuh nestapa, mungkin ini ganjarannya karena bertindak tidak mulia. Gadis itu menangis kembali, meninggalkan pemuda itu sembari berucap, 

“Pragaluh, kamu harus bahagia ya. Agar patahku nggak sia-sia.”

genosida rasa cinta

bagian dua belas

Tepat pukul 5 sore Galuh sudah siap dengan semua perlengkapan yang akan ia bawa nanti nya, tak banyak yang bisa ia siapkan karena ia berniat untuk benar-benar memulai lembaran barunya di negara baru nya, meninggalkan semua kenangan yang telah ia lalui di selama ini, menjadi Pragaluh yang baru, menulis cerita baru, membuat kenangan baru bersama orang-orang baru, tempat tinggal baru, dan jalan hidup yang baru, membayangkan nya saja sudah membuat dirinya bingung apakah ia harus bahagia atau bersedih. Jika ia memilih untuk bahagia ia pun bingung apa yang membuatnya bahagia dan jika ia memilih untuk bersedih maka ia juga akan bingung kenapa ia harus bersedih. Tujuannya sekarang hanyalah menjalani kehidupan ini dengan normal berjalan sesuai dengan apa yang sudah tuhan rencanakan, tidak bukan berarti ia akan menyerah terhadap hidup ini tapi ia lebih memilih untuk menerima segala sesuatu yang sudah tuhan siapkan nantinya, karena kini ia percaya sekeras apapun dirinya mencoba jika Tuhan tidak menghendaki maka itu semua akan sia-sia dan berakhir meninggalkan luka untuk dirinya sendiri.

Dan kini ia berjanji jika saat ini adalah saat terakhir nya untuk bisa mengenang kembali kenangan yang sudah terjadi dihidup nya karena setelah ini, ia hanya akan sibuk untuk membuat kenangan-kenangan baru lainnya. Ketika ia melirik ke atas nakas disamping tempat tidur nya maka ia akan kembali teringat dengan kenangan indah bersama sahabat-sahabat nya dan beberapa orang yang baru saja bergabung dalam hidupnya, dan keputusan nya untuk meninggalkan itu semua adalah hal yang telah ia pikirkan beribu-ribu kali dengan banyak alasan yang telah ia pertimbangan.

“I hope something beautiful is waiting for me there." Menerawang dengan tatapan kosongnya

“ ahahhaahahahah, kenapa jadi melow gini sih, aku kan cuma mau pergi bukan mau meninggal “ berusaha menghibur diri sendiri adalah satu-satunya hal bisa ia lakukan saat ini.

Sekali lagi Galuh memeriksa koper yang sudah ia siapkan, barangkali ada yang ia tinggalkan. Dan beralih melihat jam digital diatas nakas dan jam sudah menunjukkan pukul 6.15 sore yang artinya ia harus segera berangkat ke bandara karena ia diwajibkan untuk stand by di bandara 2 jam sebelum akhirnya pesawat akan lepas landas. Dan setelah memastikan semuanya ia langsung keluar kamar tidak lupa membawa serta koper dan tas ransel nya karena tidak mungkin juga ia pergi tanpa membawa mereka kan, berjalan dengan tenang menuju tangga rumahnya menikmati setiap sudut bagian rumah yang sebentar lagi akan ia tinggalkan, tidak rela? Tentu saja, tapi ia tetap harus merelakan semua itu karena mempertahankan hal yang sudah seharusnya dilepaskan itu sangat melelahkan, menuruni tangga satu persatu dan semakin ia melangkah kebawah suara keributan itu semakin jelas dan semakin membuat nya penasaran saja. Dan benar saja saat sudah sampai dibawah ia mendapati pemandangan dua cecungguk yang sayangnya ia sangat menyayangi mereka, yaps dua orang itu adalah Jeandra Nalajingga dan Manika Tasya yang saat ini tengah berdebat tentang siapa diantara mereka yang paling Galuh sayangi.

“ Jelas-jelas Galuh itu lebih sayang aku, secara kan aku sahabat nya dari orok, kamu tuh orang baru ya ga usah sok paling berkuasa “ omel Jeandra

“ Heh, emang kenapa kalo aku orang baru? Lagian ya sayang itu ga tau waktu meskipun kamu yang duluan kenal Galuh tapi bisa ajakan dia lebih sayang aku dari pada kamu “ bela Manika tidak mau kalah

Perdebatan itu berlangsung cukup sengit, hingga mereka tidak sadar jika orang yang mereka perdebatkan sedang asyik menonton mereka sambil menahan senyum, ia tidak menyangka jika selama ini ia dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangi dirinya.

“ Stop it guys! Aku sayang kalian semua sama kok, ga ada yang lebih ga ada yang kurang, lagian kalian ya sahabat nya mau pergi bukannya sedih malah debat ga jelas kayak gini, kamu juga Ndra ga malu apa debat sama cewe “ jika mengahadapi dua manusia didepannya ini maka Galuh memang harus menjadi sosok yang lebih dewasa

“ Galuhh! Liat tuh Jeandra duluan yang ngajak aku debat, masa katanya kamu lebih sayang sama dia padahal kan kamu ga pernah pilikasih, iya kan ju?” Manika mengadu kepada Galuh seperti seorang anak perempuan yang sedang mengadu kepada ayahnya sembari memeluk lengan Galuh, selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan adalah passion seorang Manika terlebih jika ia sedang berhadapan dengan Pragaluh, orang yang setiap harinya membuat dirinya jatuh cinta lagi dan lagi.

“ Eh, ga usah playing victim yaa, jelas-jelas tadi kamu duluan yang mulai “ see, childihs sekali mereka berdua ini, bagaimana jadinya jika Galuh sudah benar-benar meninggalkan mereka entahlah akan jadi seperti apa

“ Bodo amat, wlek “ ujar Manika

Tidak kuat lagi melihat perdebatan tersebut dan terlebih melihat Manika yang sangat menggemaskan membuat Galuh ingin mencubit kedua pipi gembul gadis itu

“ Ihh, gemooyy banget sih, heran deh “ tidak tahan untuk tidak mencubit kedua pipi itu yang seakan memanggil dirinya untuk melakukan hal itu

“ Auu, sakit tau, Juju ih “ mengusap pipinya yang sekarang malah semakin memerah karena salting

“ Halah halah, bilangnya sakit tapi salting lo “ cibir Jeandra yang sialnya membuat pipi Manika semakin memerah

“ Udah Ndra, jangan digodain terus liat tuh kapala Manika udah berasap “ menahan tawanya melihat Manika yang sedang menahan salting dan amarah nya

“ Kalian kesini mau nganterin aku ke bandara kan? Atau cuma mau numpang makan aja nih? “ ledek Galuh menatap kedua temannya

“ Astaghfirullah Galuh, suudzhon bae sia mah, sebagai teman yang baik ya kita mau nganterin kamu lah “ balas Jeandra

“ Ya kali aja gitu kan, yaudah sana tunggu di mobil gih aku mau pamitan sama ayah bunda dulu, oh iya tolong bawain koper aku juga yaa bestii “ dengan senyum tengil nya

“ Hadeuh, baik tuan “ membungkuk kearah Galuh

“ Jangan males gitu dong bawa nya, nanti dipotong gaji loh “ semakin gencar menggoda sahabatnya

“ Udah sono cepet, bacot lo “ akhirnya meledak juga emosi Jeandra dan hal itu membuat Pragaluh juga meledakkan tawanya sambil berjalan menuju kamar kedua orangtuanya

Kini Galuh sudah siap untuk mengetuk pintu kedua orangtuanya tapi ia tidak berniat untuk masuk dan berpamitan kepada mereka seperti anak-anak lainnya seperti umumnya karena jika ia melihat wajah keduanya maka ia akan semakin berat untuk meninggalkan rumah ini jadi ia memutuskan hanya akan sekedar berpamitan dengan pintu tersebut sebagai pembatas antara mereka

“Papa bunda, Juju pamit ya, doain Juju ya,  Assalamu’alaikum “ setelah menyelesaikan kalimatnya Galuh segera bergegas menuju teman-temannya yang sedang menunggu di mobil dan tak lupa menyeka air matanya yang dengan lancang turun begitu saja tanpa seizinnya.

Pragaluh kini melangkahkan kakinya satu persatu keluar rumah berjalan perlahan seolah sedang berpamitan pada setiap sudut rumah. Memang berat untuk meninggalkan semuanya begitu saja, tapi hidup ini adalah tentang yang datang dan pergi, tentang ikhlas dan merelakan, tentang bertemu dan berpisah.

Mobil yang mereka tumpangi sudah mulai menancapkan gas nya menuju bandara, karena kini sudah menunjukkan pukul 7.00 yang mungkin ia akan sampai sedikit mepet dengan jadwal penerbangan nya, jika kalian bertanya mengapa Galuh memilih untuk melakukan penerbangan di malam hari, jawaban nya adalah karena Galuh merasa lebih tenang dan pemandangan langit pada malam hari jauh lebih indah baginya.

“Kok kalian pada diem sih tumbenan“ Galuh memecah keheningan diantara mereka

“ih Juju, diem deh kita tuh lagi mau sedih tau ga“ sewot Manika

“ahahahahahaah, kalian ada-ada aja sih masa orang sedih harus direncanain dulu sih" tidak habis pikir dengan kelakuan kedua makhluk disampingnya ini

“Ya ya gimana dong, tapi kita kan emang beneran sedih ju“ saut Jeandra dengan raut wajah yang dibuat-buat

“Apa coba yang harus kalian sedihkan, aku kan cuma pergi sementara, bukannya mau meninggal, mending sedihnya tunda nanti aja pas aku udah meninggal“ mendengar perkataan Galuh membuat kedua sahabatnya tertoleh dan menatap nya dengan tajam

“JUJU! Sekali lagi ngomong kayak gitu, aku turun nih“ ancam Manika

“ahahahaha, okok sorry okey, ga usah sedih dong kan nanti pas liburan semester aku pulang, tenang aja nanti pas aku uda balik ke Indonesia kalian adalah orang pertama yang bakal aku cari “ menenangkan para sahabatnya

“Huwaaa ...hiks.. hiks.. hiks“ tangis keduanya pecah dan berhamburan kepelukan Galuh

“Udah dong jangan pada nangis, jaket aku jadi kena ingus kalian nih“ sedikit mengendorkan pelukan para sahabatnya

“Galuh mah ga asik, ngerusak suasana aja sih“ gerutu Jeandra

“Ya uda sih lagian ngapain nangis coba, ga malu tuh sama kumis, udah sampek ayo turun“ meledek Jeandra

Mereka semua turun dari mobil, namun saat Jeandra dan Manika hendak ikut masuk kedalam ruang tunggu Galuh menahan mereka

“Udah sampek sini aja, ga usah ikut masuk nanti kalian malah nangis lagi, bikin malu tau ga “ mencibir

“Yah kok gitu sih, padahal kan kita mau kayak di film-film gitu, perpisahan di bandara “ Manika dengan mata yang masih bengkak

“Gak! Ga ada gitu-gituan” tegas Galuh

“Ya udah deh“ jawab Manika menundukkan kepalanya guna menyembunyikan air matanya yang kembali mengalir, hingga dirinya dikejutkan kala ia merasakan usapan di kepalanya yang berasal dari tangan besar Pragaluh membuat dirinya mendongakkan kepalanya agar bisa menatap pria yang jauh lebih tinggi darinya

“Ga usah nangis“ menyeka air mata yang mengalir semakin deras dipipi gembul gadis itu, lalu memakaikan topi yang ia gunakan sedari tadi dikepala Manika menutupi surai hitam legam gadis itu, Manika hanya bisa bengong diperlukan seperti itu oleh laki-laki yang selama ini ia kagumi.

“Sini peluk" membuka kedua tangannya dengan senyum yang begitu menghangatkan, tidak perlu disuruh dua kali Manika langsung menubruk dada pria dihadapannya biarkan ia egois untuk kali ini saja, memeluk tubuh Galuh begitu erat dan menghirup aroma tubuh pria itu dengan rakus

“Oh gitu ya, pelukan nya Cuma berdua aja, aku ga diajak oke fine, aku mah apa atuh" Jeandra yang sudah muak dengan semua drama yang ada didepannya pun memulai aksi merajuknya

“Oh iya lupa kalo masih punya temen lagi “ledek Galuh sembari membuka sebelah tangannya mengajak Jeandra bergabung

Disela-sela acara berpelukan tersebut Galuh merasakan Manika menaruh sesuatu di saku jaketnya dan tak lama gadis itu berbisik

“Lihat nya nanti aja kalau udah sampek sana“ mendengarnya Galuh hanya mengangguk dan kembali mengusap kepala gadis itu serta sekali lagi mencubit pipi gembul Manika.

OH HEY, FOR BEST VIEWING, YOU'LL NEED TO TURN YOUR PHONE