hal asing yang harus terbiasa
bagian satu
Dan disinilah sekarang Pragaluh, di atas ranjang putih berukuran king size bersembunyi dari kilatan baskara cerah. Sinar matahari mencoba menyeruak masuk seakan memerintahkan pemuda rupawan itu untuk bangun dari tidur lelapnya. Namun Pragaluh dengan tak acuhnya mencoba untuk tetap memejam mata tanpa mempedulikan kelas online yang sebentar lagi akan dimulai. Telepon genggam yang ia bisukan, pasti tak berhenti berdering seandainya saja pemuda itu menyalakan akses suaranya. Sahabat masa kecilnya, Jeandra, adalah satu-satunya manusia yang ia yakini sebagai dalang dari banyaknya panggilan di pagi hari begini.
Pemuda itu masih setia memejam netra, sampai sang Bunda masuk ke biliknya tanpa permisi. Wanita paruh baya itu membawa tangannya membuka gulungan selimut yang merupakan bentuk terakhir perlindungan dirinya. Lengan dan jemari beliau begitu cekatan, hingga Pragaluh sama sekali tidak bisa memberikan perlawanan, barang sedikitpun. Badan atletis itu diguncang pelan, nyawa yang tadinya sedang berada di tempat lain serasa tertarik dan kembali menyatu dengan raga pemiliknya. Dengan terpaksa Pragaluh membuka netra, beberapa kedipan terjadi secara beruntun, seakan ia sedang berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke indera penglihatan dengan lancangnya. Pandangannya kosong, ia masih sangat megantuk, nyawanya belum kembali seutuhnya.
“Buruan bangunnya, bentar lagi siang ju,” ucap Bunda menyadarkan putranya dari lamunan. Pragaluh mengucek netranya pelan, berharap semoga rasa kantuk yang masih mendera bisa lenyap seketika. “Demi Tuhan, ini masih pagi bun ...” Ia terduduk ketika sang Bunda hanya berdecak sebagai respon, dengan badan yang terasa nyeri khas orang bangun tidur Pragaluh mencoba meraih telepon genggamnya di atas nakas yang tampak bergetar secara terus menerus. Tangan lentik pemuda itu berhasil menggapai gawai keluaran terbaru miliknya walau dengan kesusahan. Netranya melirik Papan notifikasi, dan pemuda itu memutuskan untuk tidak menghiraukan panggilan, karena sekitar delapan puluh persen merupakan panggilan dari Jeandra.
“Hari ini sekolah online pertama loh, jangan santai banget Ju.” Setelah sedikit merapikan selimut putra semata wayangnya, terlihat Bunda melangkahkan kaki untuk keluar dengan wajah masam, semua orang yang melihat pasti tahu kalau suasana hati wanita tersebut sedang pada fase tidak baik-baik saja. “kenapa sih? Kok bisa-bisanya mood beliau jelek gitu pagi-pagi begini.” Mata Pragaluh berputar ke atas malas, ia jengkel mendapat perlakuan tidak mengenakkan sesaat setelah bangun dari tidur malamnya. Dengan berat hati, ia mencoba untuk menyandarkan badan ke dashboard, kepalanya pening, badannya juga di rasa cukup berat.
Tanpa ambil pusing Pragaluh meregangkan badannya yang dirasa cukup kaku. Sendi-sendinya mengeluarkan bunyi nyaring yang terdengar cukup ngilu. Pemuda itupun melangkahkan kaki jenjangnya menuju kamar mandi, tangannya terulur untuk memutar kran air guna mengisi bak yang hampir kosong melompong. Karena cuaca pagi yang sangat sejuk, ia memutuskan untuk tidak mandi dan hanya membasuh wajah rupawan kebanggannya. “lah kok ada jerawat? Aduh, jangan-jangan salah satu skincareku ada yang nggak cocok.” Sementara terus mengeluh, Pragaluh membawa tangannya untuk meratakan salep pereda jerawat yang dibelinya beberapa hari silam. Dilanjut dengan pemakaian toner, dan beberapa krim pereda flek kehitaman. Setelah pemakaian skincare rutin, pemuda rupawan itu hendak menghilangkan bau mulutnya.
Pragaluh perlahan mencari sikat gigi yang biasanya, ia letakkan pada ujung lemari westafel. Bulir air dari rambut yang sengaja ia basahi turun ke bahu tegapnya. Ia juga bisa merasakan baju dan celana tidurnya mulai basah karena percikan air kran yang dinyalakan tadi. “yaelah ini sikat gigi pakai acara sembunyi.” Pemuda itu berdecak pelan, ia menatap pantulannya di cermin, dengan sedikit rasa kesal akhirnya Pragaluh melangkahkan kaki keluar dan kembali ke kamar tidurnya.
Derap kakinya berhenti tepat di depan lemari baju, atensinya terfokus pada tumpukan pakaian yang sudah wangi dan mengeluarkan bau khas seperti habis di setrika. Sepasang demi sepasang, ia tetap mencoba mencari. Kamar Pragaluh yang semula beraroma maskulin pekat, berubah drastis. Kamar bernuansa gelap itu sekarang dipenuhi wangi-wangian aromatik bunga layaknya jasa laundry yang terkesan familiar, “buset, wangi kamarku jadi kayak baju kemanten baru!” dikibas tangannya untuk mengusir harum perisa bunga yang menyengat.
Setelah hampir sepuluh menit, seragam barunya akhirnya dapat ditemukan. Karena warna yang cenderung sama dengan beberapa warna baju-baju lain, pemuda itupun sangat kesulitan. Apalagi lemari yang bisa dibilang cukup besar itu, menyimpan berpuluh-puluh kemeja dengan warna yang nyaris saja serupa. Seragam sekolah barunya, SMA Negeri Nusantara Jaya nampak sangat kaku karena belum pernah dipakai sama sekali. Bahan plat yang terkesan ekonomis itu dirasa sangat tidak nyaman ketika dikenakan, berbeda dengan seragam sekolah menengah pertamanya yang memiliki tekstur lembut, serat yang kuat dan daya serap keringat yang sangat menakjubkan. Kualitas yang jauh berbeda, sebenarnya Pragaluh tak perlu membandingkannya. Ia adalah lulusan sekolah menengah pertama dengan kualifikasi internasional, dan anak dari presiden direktur yang tergolong kedalam sepuluh orang paling berpengaruh di Indonesia.
“ini aku kelihatan kayak orang-orangan sawah banget haduh.” Ucap Pragaluh, netranya memandangi lamat-lamat pantulan dirinya pada cermin di hadapannya. Dering telfon memasuki indera pendengaran pemuda itu dengan paksa, Pragaluh tersentak dari pemikirannya, menolehkan kepala menuju sumber suara tersebut. Tanpa berpikir dua kali, Pragaluh menjawab panggilan sembari merapikan rambutnya. “halo? Siapa ya?” diberikannya sedikit pomade pada telapak tangan, dengan telaten ia menguleni dan meratakannya pada rambutnya yang sedikit ia basahi tadi. Senyum manis terbit pada wajah bak dewa yunani miliknya, seakan ia sangat percaya bahwa tatanan rambut itu akan bertahan sangat lama. Namun, senyum itu tidak awet sepertinya, Pragaluh yang menyadari panggilan yang diangkatnya tidak segera memberikan respon merasa kesal sekaligus heran. Dengan sedikit berteriak, pemuda itu berujar, “haloo?! Ada orang nggak sih?”
“ini pragaluh ‘kan? Sorry-sorry i tadi lagi panggil mamah cause ada gojek atas nama i.” suara yang tidak asing, logat yang kental dengan campuran bahasa inggris. otak Pragaluh sejenak bekerja keras untuk mengingat siapa sosok di balik panggilan itu. “you good? Kok diem aja, ohh jangan bilang kalau you lupa siapa i?”
Pragaluh dengan cekatan membuka media sosialnya, ia sering menandai nama teman dekat dan karateristik yang biasanya dilakukan. Walaupun akademis Pragaluh bisa dibilang di atas rata-rata, namun kemampuannya mengenali orang sangatlah pPapa. “Galuh, you lagi ngecek ‘daftar buat ngenal orang’ itu ya? Kalau iya, i beneran kecewa sih.” Ucapan pemuda di seberang telepon menyulut emosinya, “nggak usah sok tahu deh! Siapa sih ini? Orang mau nawarin pinjaman online kah? Please, kamu aneh banget sumpah!”
“weits kalem hahaha, i renjana bro! Literally kita Cuma nggak ketemu dua bulan setelah lulus, but you udah lupa sama i, ternyata ingatan you lebih pendek dari yang i pikirkan.” Terdapat nada merendahkan disana, Pragaluh yang tak ingin merusak suasana hatinya memutuskan untuk tidak acuh dengan perkataan sahabat sekolah menengah pertamanya itu. “lah diem, you dimana? I udah di high school nih.” Seandainya Renjana ada di hadapannya ia akan dapat melihat Pragaluh yang menaikan satu alis matanya seakan bertanya, pede amat dah? Siapa yang satu sekolahan sama kamu?
Renjana yang merasa tidak diberikan atensi memutuskan untuk berbicara kembali, “you kenapa diemin i sih? Nggak masuk Techno high school ya?” deheman singkat Pragaluh beri sebagai respon pada pemuda dengan keingintahuan tinggi di seberang sana. “you sekolah di luar negeri? Or di international school lain? For your information aja nih ya, Techno high school itu terjejer di sekolah paling maju dan berkualitas loh? Raise up you standart, Galuh.”
Ditengah omelan Renjana, tangan kanan Pragaluh terulur untuk mengambil laptop miliknya. Gawai itu terlihat menonjol dengan desain apik, dan spek tinggi yang memang dirancang khusus untuk para pro gamer. Laptop itu pemberian dari sang Nenek, dapat dilihat beliau sangat menyayangi cucunya sampai-sampai membelikan gawai seharga rumah tipe tiga puluh enam. “kamu udah selesai ngomel belum? Aku nggak sekolah di luar negeri, aku sekarang di SMANUJA.” Nada suara Pragaluh sangat datar, ia ingin memberikan kode kalau dirinya sudah sangat malas berbicara.
“hah? Are you serious? Pragaluh yang nggak bisa makan saus mau mutusin buat sekolah negeri? HAHAHA, candaan you lucu juga! Pragaluh mana mungkin mau ngerusak masa depannya dengan masuk sekolah pinggiran begitu.” Renjana nampak sangat tidak mempercayai penuturan sahabat baiknya itu. Pragaluh serasa di beri minyak dan dilempar korek, iapun membalas ucapan pemuda blasteran China di seberang sana, “i swear to God Renjana, just mind your own business dude.” Dengan menekan kalimat terakhir, ia berharap kalau Renjana sadar bahwa ucapannya sudah terlalu melewati batas.
“why are you so salty? Ini masih pagi, Galuh. I end up this call aja, maaf ganggu.” Nada bicara Renjana menyiratkan kekesalan sebelum panggilan itu diputus sepihak. Pragaluh mengusak rambutnya kasar dan meraih sebotol air mineral pada nakas tepat disebelahnya. Tutup botol itu dibuka dengan terburu-buru, diteguknya habis seluruh air mineral dengan rasa manis tipis itu dengan rakus.”yaelah Ren, kamu emang ganggu banget tau.” Semoga saja, perasaan gundah dan ragu yang muncul akibat ucapan Renjana dapat segera sirna. Ia tidak ingin bimbang dan akirnya membatalkan seluruh rencana panjang kehidupan menengah atasnya.
Matanya melirik ke arah jam digital yang elok terpasang pada meja rias di hadapannya, lalu dengan enggan hati Pragaluh berdiri dan mendekati kasurnya untuk duduk disana. Dibawanya tangan lentik itu untuk meraih meja lipat di kolong tempat tidurnya, ia menyadari kalau bisa saja ia terlambat pada kelas pertama. Dengan tergesa-gesa Pragaluh langsung membuka meja itu dengan menarik pelan kedua besi penyangganya. Model meja lipat yang terkesan cukup kuno untuk keluarga dengan harta melimpah seperti keluarga Pragaluh Juang Nagara, namun ia sangat menyayangi meja lipat itu layak halnya benda antik yang perlu dirawat dengan penuh perasaan. Ia memindahkan laptop ke atas meja dengan hati-hati. Tangan kanannya ia arahkan ke tombol kontrol, dan ia pun segera bergabung pada zoom pertama penyambutan siswa baru. Seakan mendapat naluri ilmiah, ia merasa kehidupan putih abu-abunya akan sangat menyenangkan nantinya.
Tak terasa sudah hampir lima jam pemuda itu berkutat dengan laptop dihadapannya, ocehan dari kakak osis dan para gurupun sudah tak diindahkan Pragaluh lagi. “hoamm.” Mulut Pragaluh sampai berbentuk seperti huruf abjad O sangking lebarnya ia menguap. Sudah terhitung empat kali Pragaluh terus menguap. Ia sepertinya sudah tidak menikmati kelas pertamanya lagi. Karena ia tidak ingin menjadi pusat atensi, ia mematikan akses kamera dan suara. Pragaluh sebenarnya tidak berniat untuk tidur, tetapi saat dirinya memejamkan mata sejenak karena matanya dirasa cukup berat, tiba-tiba kantuk berhasil merenggutnya. Pragaluh terlelap dengan bersandar pada dashboard di hadapan kelas pengenalan lingkungan sekolah barunya.