Info lomba
Lomba esai
[RPK BEM FIS - UNNES]
PROUDLY PRESENT
•
•
✨ LESSON 2021 ✨
"Lomba Esai Nasional 2021"
LESSON 2021 merupakan lomba yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang sebagai wujud nyata dari upaya ikut serta dalam meningkatkan kualitas dan kreatifitas mahasiswa.. Lomba ini diperuntukan bagi kalian para mahasiswa se-Indonesia.
Tema: "Peran dan Inovasi Mahasiswa dalam Meningkatkan Literasi untuk Mendukung Indonesia Emas 2045"
Sub tema:
📝 Pendidikan
📝 Sosial Budaya
📝 Sains & Teknologi
📝 Politik
🗓 Save the Date‼️
▶️ Pendaftaran, Pembayaran dan Pengumpulan Karya
(Senin, 19 Juli 2021 - Rabu, 25 Agustus 2021)
▶️ Penilaian Essay (27 Agustus - 5 September 2021)
▶️ Pengumuman dan Webminar Nasional (11 September 2021)
🎁 Hadiah:
Juara 1 IDR 1.500.000 + E-Sertifikat + Trophy
Juara 2 IDR 1.000.000 + E-Sertifikat + Trophy
Juara 3 IDR 750.000 + E-Sertifikat + Trophy
Paper Terbaik IDR 300.000 + E-Sertifikat + Trophy
*Semua peserta mendapatkan E-Sertifikat
*Setiap finalis berhak mengikuti webminar Dialektika Aksara 🎟
📃Link pendaftaran dan guidebook:
bit.ly/LESSON2021
💵 Biaya Pendaftaran:
GRATIS
ℹ️ For More Information:
📱Contact Person: +6289656743005 (Andriyanto)
📸 Instagram : @lesson.fis
#lesson2021
#lessonfis
#lombaesai
#lombagratis
#lombaesainasional
Esai
Esai Konservasi
Subtema: Konservasi Seni dan Budaya
IMPLEMENTASI METODE SIX THINKING HATS DALAM MENGEVALUASI TONTONAN TELEVISI SEBAGAI SARANA EDUKASI
Eka Nurjanah
Abstrak
Mayoritas penayangan televisi yang ada di Indonesia menampilkan realita kehidupan sehari-hari termasuk serial animasinya. Tujuan dari penulisan ini ialah hasil dari pengevaluasian terhadap tontonan yang disiarkan di stasiun televisi Indonesia baik dari film, program acara, maupun animasi. Melalui analisis ini disimpulkan, bahwa terdapat beberapa serial televisi yang menayangkan pembelajaran konservasi terutama seni dan budaya, salah satunya serial “Si Bolang” didalamnya terdapat petualangan bocah petualang yang mengenalkan adanya seni budaya beserta pengenalan alam di daerah asalnya. Namun, dari banyaknya penayangan televisi tersebut hanya beberapa saja yang mengandung pesan konservasi dan tidak setiap stasiun televisi menayangkannya. Dalam penulisan ini, saya menggunakan metode six thinking hats untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai tontonan televisi yang bermanfaat sebagai sarana edukasi berwawasan konservasi.
Kata Kunci: Tontonan, evaluasi, konservasi, six thinking hats
Pendahuluan
Sistem media massa di Indonesia semakin berkembang terutama pada sekitar tahun 1962 muncul yang namanya televisi, mendahului negara Israel, Srilanka, Tanzania, dan Afrika Selatan. Dengan kalkulasi cermat menuakan pertelevisian sebagai media massa yang efektif untuk mendistribusikan informasi dan membakar semangat pembangunan di segala bidang (Darwanto 2007, 85). Kemajuan televisi di Indonesia bertambah gemilang, dahulu hanya Televisi Republik Indonesia (TVRI) lantas meruak hingga banyak televisi kabel dan televisi satelit, yang menampilkan berbagai program tayangan dari sinetron, film, berita, program hiburan dan animasi yang banyak diminati anak-anak. Penayangan yang terdapat dalam serial penayangan televisi tidak ada hentinya siaran 24 jam terus berlangsung membuat berbagai crew stasiun televisi berlomba-lomba untuk merombak penayangan agar lebih menarik minat penonton dan berusaha menaikkan rating program tayangan mereka.
Yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini apakah serial televisi yang sudah ditayangkan selalu bernilai positif kedepannya, serial televisi yang baik seharusnya menjadi hanya sebuah tontonan atau tuntunan, sengaja saya menambahkan kata sebuah sebelum kata tontonan karena pada dasarnya yang bisa menjadi tontonan bukan hanya layar televisi saja. Daya tarik dari dunia pertelevisian menjadi magnet tertentu bagi setiap kalangan, condong bahwa usia sangat mempengaruhi dengan apa yang ditonton. Misalnya saja, anak usia 5-11 tahun cenderung lebih menyukai animasi dan program acara untuk anak-anak, anak peralihan remaja awal hingga remaja akhir sekitar usia 12- 19 tahun cenderung lebih menyukai kisah-kisah cinta yang biasanya berlatar belakang sekolah, kemudian orang yang cukup dewasa hingga tergolong tua biasanya menonton berita, program agama, film bernuansa dewasa, program infotaiment, dan lain sebagainya.
Kemudian, lantas apa hubungan antara serial televisi dan tema konservasi dalam penulisan ini?. Baiklah tanpa bertele-tele saya akan mencoba memberikan sedikit penjelasan, dari banyaknya serial tayangan televisi secara garis besar dibagi menjadi program berita ( warta penting atau warta ringan) dan program non-berita (film, kuis, acara hiburan, keagamaan, olahraga, acara musik, dan lain sebaginya). Sekian banyaknya program penayangan tersebut apakah hanya sekedar menjadi tontonan?, apakah tidak ada tontonan yang bisa menjadi tuntunan sekaligus mengedukasi?, apakah penayangan televisi sudah layak untuk ditonton?, adakah program yang berwawasan tentang konservasi?, apakah tontonan televisi mempengaruhi sikap penontonnya?. Beberapa pertanyaannya tersebut terus terngiang-ngiang dipikiran saya.
Oleh karena itu, dalam penulisan ini saya akan membahas permasalahan tersebut tentunya menimbulkan pro dan kontra dilihat dari beberapa sisi. Maka, akan saya gunakan metode six thinking hats atau metode ‘enam topi berpikir’. Metode six thinking hats yaitu metode penaggulangan masalah dengan mengamati suatu masalah dengan beragam perspektif yang berbeda-beda dan prespektif tersebut di analogikan ke dalam tipe warna topi dengan memberikan pemaparan yang lebih komprehensif.
Hasil dan Pembahasan
Pada buku Edward De Bono yang berjudul “Revolusi Berpikir” pada tahun 1993 mendeskripsikan adanya metode berpikir kreatif yaitu metode six thinking hats atau enam topi berpikir, yang mendasari filsuf untuk berpikir dalam satu arah untuk menghindari kerancuan sehingga didapatkan hasil pemikiran yang lebih ideal. Metode ini menggunakan beragam warna topi sebagai analogi media berpikir. Setiap warna mewakili satu tipe tindakan berpikir. Warna-warna tersebut diantaranya warna putih, merah, hitam, kuning, hijau, dan biru. Untuk mengetahui prosedur penggunaan dari setiap topi tersebut, akan saya paparkan secara singkat terdiri dari;
Topi Putih melambangkan berpikir secara netral dan objektif berisi informasi berdasarkan fakta
Topi Merah melambangkan perasaan dan emosi berisi pengungkapan instuisi
Topi Hitam melambangkan dasar dalam berpikir kritis yang sering melihat sisi negatif suatu subjek
Topi Kuning melambangkan sinar matahari dan optimisme berisi nilai dan manfaat
Topi Hijau melambangkan pertumbuhan dan energi kehidupan berisi eksplorasi dan ide-ide baru
Topi Biru melambangkan pandangan menyeluruh yang mengontrol proses berisi simpulan dari rangkaian sebelumnya.
Selanjutnya, saya akan memulai mengevaluasi tontonan televisi sebagai sarana edukasi berdasarkan urutan topi dalam metode tersebut;
Perspektif Topi Putih
Di Indonesia, berdasarkan survei Nielsen di tahun 2018, menyatakan bahwa durasi menonton televisi masih tetap tertinggi seperti tahun sebelumnya, yaitu 293 menit setiap harinya atau empat jam lebih (Okezone, 5 Maret 2019). Survei tersebut membuktikan bahwa menonton televisi merupakan “kegiatan utama” publik yang seakan sulit dilewatkan. Pada kenyataannya, televisi seolah-olah mempunyai energi untuk membius penonton, dan menggiring seseorang seakan merasakan setting program acara. Kemajuan televisi yang terus tumbuh salah satunya sebagai media massa yang memberi edukasi, yang mana bisa menyaingi peranan sekolah. Melalui berbagai opini mayoritas masyarakat dalam proses edukasi (kebudayaan) condong ke arah relatif, dikarenakan opini masyarakat tentang edukasi bukan hanya dibentuk oleh guru sekolah saja, melainkan oleh tayangan program televisi yang ternyata jauh lebih impresif. Televisi bergerak lebih jauh untuk mengait massa sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu program siaran yang dipertunjukkan pun yang sekiranya hanya mampu mengikat minat massa dengan keunikan khusus sekadar hiburan semata dan televisi cenderung menganggap sebelah mata program yang bermutu seperti program acara pendidikan. Dibuktikan dengan jam tayangnya yang lebih singkat.
Sebelum membahas berbagai program yang terlibat dalam wawasan konservasi, alangkah baiknya jika mengetahui asal muasal konservasi terlebih dahulu. Dasar pemikiran konservasi awalnya dikemukakan oleh Theodore Roosevelt sekitar tahun 1902. Konservasi berasal dari kata conservation, asal kata con atau together dan servare atau to keep, to save yang dapat dimaknai sebagai upaya memelihara milik atau to keep, to save what we have, dan memanfaatkan milik tersebut secara bijaksana. Pada umumnya, konservasi dinilai sebagai aksi atau upaya perlindungan dan pengawetan alam yang bersangkutan dengan lingkungan. Mencegah kebinasaan atau keruntuhan akibat dari keserakahan manusia. Namun, seiring berjalannya waktu takrif konservasi menyerempet sebagai pelestarian peninggalan kebudayaan (cultural heritage). Pernyataan diatas dapat dimaknai bahwa konservasi tidak hanya menyangkut masalah perawatan, pelestarian, dan perlindungan alam, tetapi juga menyentuh persoalan pelestarian warisan kebudayaan dan peradaban umat manusia. Bumi yang semakin tua, semakin pula banyak kerusakan, jika tidak dilakukan kegiatan konservasi tentu akan berpengaruh buruk baik bagi makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan) maupun sumber daya (diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui) yang ada di muka bumi.
Setelah membahas konservasi sendiri, sekarang membahas kaitannya dengan tayangan di televisi. Televisi sendiri sebagai media telekomunikasi yang menampilkan gambar bergerak serta diikuti suara, dari yang hitam-putih hingga berwarna. Awal mula perkembangan televisi menggabungkan mekanik, teknologi optik, dan elektronika untuk menampilkan, merekam, dan menyiarkan gambar secara visual, hingga sekitar tahun 1920-an sistem pertelevisian ini mulai dikembangkan lagi hingga berbentuklah televisi berbagai model seperti sekarang. Menyangkut hal tersebut, televisi tak lepas dari jenis tayangan yang beraneka ragam mulai dari program hiburan bahkan program berita. Program-program tersebut pasti memiliki suatu fungsi khusus kepada pemirsa atau penonton yang menunjukkan program tersebut diantaranya untuk sarana hiburan, sarana penyebar informasi terbaru, sarana penawaran ( biasanya dalam iklan), serta yang tak kalah penting sarana edukasi. Menyangkut sebagai sarana edukasi penayangan televisi ini, sudah diterapkan pada beberapa stasiun televisi baik melalui program acara maupun animasi. Edukasi dalam hal ini menyangkut tentang konservasi.
Beberapa program televisi yang berkaitan sebagai sarana edukasi konservasi diantaranya;
Program acara Si Bolang berada di stasiun televisi Trans 7 yang mana di setiap episodenya menampilkan keunikan kebudayaan daerah lokal tempat tinggal bocah tersebut, sistem penyampaiannya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti untuk anak-anak mempunyai pesan tersirat bahwa sebagai generasi muda harus peduli akan lingkungan sekitar yang mana harus dijaga, baik alam maupun kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu juga mempunyai unsur kelokalan sangat tinggi.
Program acara Dunia Binatang (Si Otan) berada di stasiun televisi Trans 7 yang mana terdapat maskot Otan (Orang Utan) dan Dolpino (lumba-lumba) yang lucu, secara tidak langsung menarik minat anak-anak digabungkan dengan beberapa unsur animasi membuat semakin menarik karakternya seakan-akan dibuat bisa berinteraksi dengan pemirsa. Isi dari acara tersebut membahas edukasi seputar ilmu pengetahuan, pengamatan, eksperimen, serta memberi pelajaran bahwa banyaknya hewan yang seharusnya dilindungi keberadaanya.
Program animasi Adit, Sopo dan, Jarwo yang berada di stasiun televisi MNCTV yang mana merupakan animasi buatan anak bangsa Indonesia sendiri yang menceritakan kehidupan sehari-hari terdapat judul tersendiri disetiap episodenya, dan beberapa judul yang dapat dijadikan edukasi konservasi ialah ‘Latihan Wushu Biar Seru’, ‘Jago Silat Buat Lawan Penjahat’, ‘Hebatnya Persahabatan(Dangdut Version)’. Pada judul pertama terdapat kata wushu, yaitu seni bela diri yang berasal dari Tionghoa, judul kedua terdapat kata silat, yaitu seni bela diri asli Indonesia, judul ketiga terdapat kata dangdut, yaitu seni musik khas Indonesia.
Program acara jalan-jalan My Trip My Advanture yang berada di stasiun televisi Trans TV, dapat menambah wawasan Nusantara tentang suku bangsa, tradisi , sejarahnya, seni budaya, serta tempat wisata alam yang nampak begitu asri. Tentunya hal-hal tersebut berkaitan dengan edukasi konservasi.
Program acara On the Spot yang berada di stasiun televisi Trans 7 yang mana, program yang sudah lama tapi tetap eksis dengan menambah informasi yang ada di seluruh dunia, juga didalamnya membahas informasi di segala bidang termasuk bidang seni dan budaya.
Mengenai program penayangan televisi yang digunakan sebagai sarana edukasi, yang tertera diatas hanya beberapa saja masih ada yang lainnya seperti Animasi Keluarga Somat, Laptop Si Unyil, dan lain sebagainya. Dengan demikian, didapat sebuah resolusi bahwa di dalam penayangan televisi Indonesia masih mempunyai program acara yang mengedukasi meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Adanya program edukasi tersebut yang telah di kemas dengan sajian yang menarik.
Perspektif Topi Merah
Mengenai evaluasi tontonan televisi sebagai sarana edukasi menyangkut perspektif topi merah atau yang mewakili perasaan dan emosi. Menurut pandangan saya, program-progaram televisi yang ada di Indonesia bisa dibilang kualitasnya kurang baik. Alasan saya berpendapat seperti itu misalnya film Indonesia yang disajikan beratus-ratus episode dan jalan cerita yang terus memutar-mutar membuat penonton jenuh melihatnya juga kurangnya pesan moral dari film. Kemudian semakin banyaknya acara reality show yang saya menilainya sebagai adegan settingan, dikarenakan banyak tindakan yang menurut saya kurang masuk akal misalnya ada suatu reality show sedang mengundang beberapa anggota keluarga, kemudian ada sebuah perkelahian dimana dalam perkelahian tersebut menggunakan bahasa yang terlalu baku juga disorot dengan kamera berbagai sudut pandang, perkelahian tersebut hanya sebagai permanis saja dalam program. Kemudian, adanya sistem rating program televisi membuat tayangan kurang diperhatikan tayangan bermutu atau tidak, bahkan Presiden Joko Widodo pernah mengundang direktur program televisi swasta agar berkunjung di Istana Negara, beliau menyampaikan bahwa upaya mengejar rating program televisi yang dianggap kurang mendidik atau edukasi dan tidak layak untuk ditonton anak-anak. Beliau selanjutnya berpendapat bahwa sinetron yang ratingnya tinggi, juga berurusan dengan industri bisnis, tetapi yang perlu ditekankan jangan sampai memandu publik ke arah sektor konsumtif dan sektor tidak rasional. Keresahan tersebut juga perlu ditanggapi bahwa rating tidak menjadi jaminan bahwa program tersebut berkualitas, sebab justru program penayangan yang berkualitas mungkin peminatnya lebih sedikit dan biasanya ditayangkan dengan waktu singkat.
Terlepas dari masalah tersebut, tetapi ada juga program edukasi yang bermutu juga diiringi dengan rating yang bagus. Program-program tersebut tayang dijam yang tepat dan sistem penyampaiannya menarik sehingga mudah dipahami seperti contoh yang telah sampaikan diatas misal; Si Bolang, Si Otan, My Trip My Advanture, dan Si Unyil. Program-program tersebut mengajarkan edukasi bahwa konservasi itu sangat penting, lalu cara penyampaian program tersebut mudah dipahami dan dalam kenyataannya terdapat budaya yang sangat indah, tetapi sangat jarang diekspos pada publik. Menurut pandangan saya pribadi, program-program tersebut sangat mempengaruhi wawasan masyarakat tentang Indonesia, dapat melihat Indonesia secara menyeluruh mengenalkan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang sangat indah dan diiringi edukasi bahwa kita harus selalu menjaga budaya serta alam.
Perspektif Topi Hitam
Edukasi pembelajaran konservasi yang dilakukan melalui media massa terutama televisi dirasa masih kurang efektif. Ketidakefektifan tersebut bahwa televisi sebagai sarana edukasi, tidak bisa menempatkan posisi ideal seperti pendidikan formal pada umumnya, perihal ini dinyatakan oleh Howard Kingsbury S., “… rata-rata belajar tentang dunia sesudah meninggalkan sekolah adalah dari mass media walaupun proses yang diterima tidak sempurna tidak seperti mengikuti pendidikan formal”. Jika media televisi memindahkan sarana edukasi ke semua program televisi, lama-kelamaan terjadi kejenuhan, sehingga banyak orang yang meninggalkan televisi. Oleh karena itu, media televisi lebih banyak menyiarkan program hiburan di banding program edukasi.
Terdapat ahli dibidang kejiwaan pernah mengevaluasi dan menyimpulkan bahwa televisi sebenarnya “pabrik mimpi”, yang menyertakan penonton. Sebab, didalam mimpi kita tampak begitu emosional, di luar batas kontrol kesadaran, terikat dan menonton sesuatu yang mungkin mustahil terjadi dalam kejadian yang lazim pada umumnya. Televisi seakan-akan membius penontonnya, bisa jua penonton akan memperoleh dampak (buruk) melalui pandangan psikologis, dampak tersebut ialah mempercayai apa pun yang ditayangkan televisi meskipun tayangan tersebut benar-benar dibuat fiksi sebagai implikasi imajinasi si pembuat acara saja. Seringkali penonton mengira semua objek di televisi itu sebagai suatu kenyataan dan akan menjadi pengaruh tidak baik yang dapat terealisasikan dalam diri penontonnya.Yang terakhir, televisi dijadikan sebagai ajang bisnis yang memperhitungkan untung rugi, sehingga membuat stasiun televisi merubah format program seenaknya saja dengan pola yang begitu seragam tanpa memperdulikan adanya nilai edukasi yang diadopsi oleh masyarakat.
Perspektif Topi Kuning
Hakikatnya, “fungsi komunikasi massa secara lazim ialah sarana informasi, pendidik, dan menghibur” (Nurudin, 2003:61). Sesungguhnya pendidikan bukan hanya melalui asosiasi formal atau lembaga pendidikan saja, akan tetapi bisa melalui asosiasi informal misalnya media massa, penyampaian melalui media massa diantaranya; film, radio, televisi, internet, dan surat kabar dengan tujuan pembawa informasi dan salah satu pengaruh terhadap opini, sikap, dan perilaku peminat media massa. Dapat di perjelas lagi bahwa pendidikan dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun melalui media apapun yang nantinya akan menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki mutu tinggi. Salah satu media massa yang mempunyai jangkauan yang luas dan sasaran yang besar yaitu televisi. Jangkauan tersebut terlihat dari program liputan atau pemberitaan yang muncul sangat aktual dan cepat menyebar. Daya pikat impuls seseorang terhadap media televisi tergolong tinggi, disokong oleh kekuatan suara dan gambar yang bergerak (ekspresif) sehingga penonton mudah memahami isi pesan dalam program acara televisi.
Daya pikat televisi dalam memikat minat penonton sudah selayaknya televisi tidak hanya dijadikan sebagai tontonan saja, tetapi bisa bertumpu untuk tuntunan yang menguasai khalayak baik secara aspek sosiologis maupun filosofis. Media televisi tumbuh menjadi paradigma baru peradaban manusia yang lebih dikenal dengan mass culture (kebudayaan massa). Kebudayaan massa ini apabila diiringi secara positif dan edukatif tentu hasilnya tidak akan mengecewakan, caranya dengan memberikan tayangan program yang bisa dibilang mendidik juga bermutu menyajikan unsur-unsur pendidikan dalam setiap tayangan televisi amat memungkinkan. Oleh sebab itu, mendidik bangsa berkualitas bukan hanya tanggung jawab para pendidik formal saja, tetapi seluruh unsur lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya asosiasi media dalam hal ini salah satunya televisi.
Perspektif Topi Hijau
Mengenai perspektif ini, saya mencoba memberikan ide baru bahwa pada hakikatnya televisi bisa dijadikan sarana edukasi yang menarik apabila dikemas dengan ciri khas tertentu programnya juga diiringi dengan pembawa acara yang banyak disukai penonton agar program tersebut semakin berpeluang terbuka menjadi tayangan terfavorit. Peluang untuk mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, baik kalangan budayawan, elite politik, ekonomi, agamawan, pendidik, dan lain-lain untuk mengapresiasikan masing-masing bidangnya melalui program tayangan televisi. Hal ini, edukasi melalui media televisi sebagai pengamat, alangkah baiknya bisa memberikan saran kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk menghimbau agar setiap stasiun televisi setidaknya mempunyai minimal satu program acara baik berupa animasi maupun sinetron, yang didalamnya terdapat unsur edukasi terutama tentang konservasi. Supaya nantinya publik yang terbiasa menonton televisi dapat mendapat tuntunan, bukan hanya sekedar tontonan. Pada dasarnya publik harus berpikir kritis dan secara terbuka terhadap tayangan televisi, pemerintah harus lebih teliti dalam memantau televisi, pengelola media dan investor media harus memiliki hati nurani dalam menyampaikan pesan edukasi pada format tayangan televisi. Jangan sampai media yang sebesar televisi ini menjadi hancur dan peminatnya berkurang, dikarenakan kurang bermutunya program dan kurangnya inovatif dalam tayangan. Maka dari itu alangkah baiknya jika rating suatu program sistemnya diubah yaitu dengan tontonan yang paling bermutu agar berbagai stasiun televisi terus merancang program yang mengedukasi.
Perspektif Topi Biru
Intisari pernyataan dari kelima perspektif topi warna tersebut dapat saya ringkas, diantaranya; Perspektif topi putih menyatakan bahwa ternyata terdapat program televisi yang berfungsi sebagai sarana edukasi yang dikemas semenarik mungkin untuk membangkitan minat penonton. Perspektif topi merah menjelaskan bahwa kualitas penayangan program di Indonesia lebih mendominasi tayangan yang kurang bermutu. Perspektif topi hitam menjelaskan media televisi dirasa belum bisa menjadi sarana edukasi sepenuhnya, dan dampak televisi yang seolah-olah membius penontonnya. Perspektif topi kuning yang menjelaskan kelebihan televisi yang mempunyai jangkauan yang teramat luas. Kemudian yang paling akhir dari perspektif topi hijau telah menyajikan solusi terbaik agar pertelevisian Indonesia menjadi lebih baik lagi dalam sarana mengedukasi terutama berkaitan dengan wawasan konservasi.
Penutup
Simpulan
Dimaksudkan dari penggunaan six thinking hats ini bermanfaat dalam mengevaluasi tayangan televisi yang ada di Indonesia, layak disebut sebagai sarana edukasi atau tidak, dan tujuan yang dikehendaki yaitu menelaah solusi terbaik menjadikan tayangan televisi menjadi lebih baik lagi. Dan hasil yang didapat dikelompokkan menjadi dua ide yaitu yang pertama adalah sarana edukasi di televisi perlu dikembangkan dalam pengemasan semanarik mungkin dan menghimbau agar setiap stasiun televisi menyediakan minimal satu progam yang mengedukasi. Dalam himbauan tersebut perlunya kerjasama antara KPI, Pemerintah, dan masyarakat. Supaya nantinya program-peogram yang terdapat dalam televisi tidak hanya sebagai tontonan saja, tetapi bisa juga bermanfaat sebagai tuntunan, dikarenakan hingga saat ini media televisi masih peringkat pertama sebagai media informan yang paling banyak digunakan, alangkah lebih baiknya jika peringkat tersebut juga diiringi dengan kualitas penayangan terbaik, yang diiringi sebagai sarana edukasi.
Saran
Adanya sifat konservasi setiap individu, bisa di tanamkan dengan berbagai cara, baik melalui pendidikan formal bahkan media televisi bisa menjadi sarana edukasi konservasi. Namun, kembali lagi ke diri masing-masing dengan pembelajaran konservasi yang telah didapat tersebut diharapkan bisa diterapkan dalam realitas keseharian dan menjadi lebih baik lagi jika bisa menyebarkan semangat konservasi pada yang lainnya.
Daftar Pustaka
Basid, A. (2016). Pesan multikultural dalam serial film animasi anak Adit, Sopo, dan Jarwo. Penamas, 29(3), 493-504.
Fardiah, D. (2004). Format Tayangan Televisi Sebagai Media Pendidikan Kualitas Bangsa. MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 20(4), 525-539.
Handoyo, E. (2010). Model Pendidikan Karakter Berbasis Konservasi: Pengalaman Universitas Negeri Semarang.
Helida, A., Abubakar, R., Ahwansyah, A., & Khusumah, R. S. (2019). Penumbuhkembangan Sikap Konservasi pada Siswa Sekolah Dasar di Kota Palembang. Suluh Abdi: Jurnal Ilmiah Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1).
Huda, K., & Feriandi, Y. A. (2018). Pendidikan konservasi perspektif warisan budaya untuk membangun history for life. Aristo, 6(2), 329-343.
Kurniawan, R. (2014). Imitasi Budaya pada Tayangan Televisi di Indonesia. Jurnal Dimensi Seni Rupa dan Desain, 11(2), 213-228.
Rachman, M. (2013, June). Pengembangan pendidikan karakter berwawasan konservasi nilai-nilai sosial. In Forum ilmu sosial (Vol. 40, No. 1).