What is this?

Everything, Anything

I'm not good at expressing myself so may this drawing explains the reason I made this blog. Do you get it? No? Well, basically, my mind never really stops working. I always stuck in the Ni-Ti loop and that sucks. But you know what they say, embrace your flaws and live for the little things in life. And that is what I'm trying to do now.

Drip of Love

When the universe is collapsing, that is when we shall say goodbye

Flesh and bones, flesh and blood, dripping from your mouth to mine as you gave your last words saying, "I fucking hate you". And stabbed me with knife you've been holding in your hand, which I didn't notice before. But afterall, we died.

The stupidity of desire and hatred, the theory which driven us crazy and madly in love but whom killed us both at the end. "I love you," I said as I closed my eyes for the last time before the darkness took my life away.

It feels vague but I feel your skin around my arms. You hold me and I hold you. You and I shall be together always, for not even death can do us part.

When the universe is collapsing, My Darling, and all the realms are destroyed too, that is when life do us part, that is when we shall say goodbye. But until that day arrives, let's keep holding hands like this cause this is all that's left for us.

How To Love Yourself

The Return of the Young Prince

‘You’ll be happy if you love and forgive, because then you’ll be loved and forgiven in turn. You can’t forgive if you don’t love, because your forgiveness will never outgrow your love. And finally, it’s impossible to love and forgive others without loving and forgiving yourself first.’

‘But how can you love yourself while knowing your own flaws?’ he objected.

‘The same way you love others while knowing theirs. People who wait for the arrival of a perfect being whom they can love go from one disappointment to another and end up loving no one. But to love and forgive yourself, it’s enough just to want to become a better person, and to accept that you have always done the best that you could.’

‘And how can I know that I truly love if I’ve never experienced love before?’ asked the Young Prince, quite logically.

‘Your love is true when you put someone else’s happiness before your own. True love is free and knows no limits. It doesn’t seek to satisfy its own needs, but concentrates on what’s good for the loved one.’

Books

The Infernal Devices

Tess, Tess, Tessa.

Was there ever a more beautiful sound than your name? To speak it aloud makes my heart ring like a bell. Strange to imagine that, isn’t it—a heart ringing? But when you touch me, that is what it is like, as if my heart is ringing in my chest and the sound shivers down my veins and splinters my bones with joy.

Why have I written these words in this book? Because of you. You taught me to love this book, where I had scorned it. When I read it for the second time, with an open mind and heart, I felt the most complete despair and envy of Sydney Carton—yes, Sydney, for even if he had no hope that the woman he loved would love him, at least he could tell her of his love. At least he could do something to prove his passion, even if that thing was to die.I would have chosen death for a chance to tell you the truth, Tessa, if I could have been assured that death would be my own. And that is why I envied Sydney, for he was free.
And now at last I am free, and I can finally tell you, without fear of danger to you, all that I feel in my heart.

You are not the last dream of my soul.
You are the first dream, the only dream I ever was unable to stop myself from dreaming. You are the first dream of my soul, and from that dream I hope will come all other dreams, a lifetime’s worth.

With hope at last,
Will Herondale

Books

A Brief History of Misogyny

MY ANNOTATIONS: A Brief History of Misogyny by Jack Holland.

• Plato was a feminist of his time but he was also a misogynist. He said, 'Women should have the equal education as men' but there was still no equality because he believed, theoretically, women exist for men pleasure only. A sexual partner. His Theory of Forms made misogyny philosophically respectable.

• Aristotle was the most ferocious misogynist of all time. He made misogyny scientifically respectable. For he said, 'The male is by nature superior and the female inferior. And the one rules (male) and the other is ruled (female). The principle of necessity extends to all mankind.' Aristotle also said that female is a mutilated male.

• The romans were not original thinkers.

• Greek misogyny is based on fears and what women might do if they were free to do it. Roman women openly challenged the prevailing misogyny and made public their feelings and demands. Roman women protested their fate and took to the streets. In roman women entered the public sphere, and made history.

• The greeks and romans were taught it was necessary to master passions. But according to the christian tracher clement of Alexandra 'Our ideal is not to experience desire at all'. (Page 82) According to Tertullian, it is easier for a man to abstain from having thoughts about having sex with a woman if she dresses modestly.

• Once religion sanctions a belief, our ordinary notions of what distinguishes the insane from the sane are thrown out the window.

• Unlike racism, misogyny is not seen by many men as a prejudice but as something almost inevitable. Equality is not the empirical claim that all groups of human beings are interchangeable; it is the moral principles that individuals should not be judged or constrained by the average properties of their group.

They say time heals all wounds, but that presumes the source of the grief is finite.
TID

Walden by Henry David Thoreau

I went to the woods because I wanted to live deliberately. I wanted to live deep and suck out all the marrow of life! To put to rout all that was not life. And not, when I had come to die, discover that I had not lived.

Kinanti

Menjadi seorang Ayah adalah sebuah karunia istimewa. Terlebih ketika kau adalah single-father. Kewajibanmu ada dua, membimbing anakmu dan juga mencari uang. Melakukan dua hal tersebut sendirian dalam waktu yang bersamaan bukanlah hal yang mudah. Jika disuruh untuk memilih antara bekerja atau menghabiskan waktu dengan anakku, sudah jelas aku akan memilih opsi kedua. Hidup anakku terlalu berharga untuk dihabiskan sendirian.

Kuberi nama dia, Kinanti. Buah hatiku, Kinanti. Buah hatiku berbeda dari anak-anak kecil yang lainnya. Baik secara fisik maupun hati. Kinanti jauh lebih kurus dan lunglai, tapi bila kau mengenalnya lebih dalam, kau akan tahu. Semangatnya melebihi mobil Bugatti Veyron yang bisa melaju 407 km/jam. Aku percaya, Kinanti akan menjadi pribadi yang sangat lincah bila kesehatannya memadai. Kinanti kecilku terjangkit penyakit anemia sel sabit. Keturunan dari Miranda, istriku tercinta.

Miranda dan Kinanti sangat mirip. Mereka berdua adalah sosok terkuat yang pernah aku temui. Sama seperti Kinanti pula, Miranda telah terdiagnosis memiliki penyakit keparat itu sejak ia lahir. Anemia sel sabit membuat penderitanya menjadi semakin lemah kian hari. Ia membuat penderitanya sedikit demi sedikit makin sekarat setiap harinya, seolah-olah nyawa mereka bisa hilang kapan saja.

Aku bertemu Miranda ketika berumur 15 tahun, jatuh cinta padanya ketika berumur 16 tahun, dan menikah dengannya ketika berumur 19 tahun. Aku tahu apa yang kau pikirkan, menikah muda. Tapi aku tidak menyesali keputusanku itu. Pernikahan kami merupakan permintaan terakhir Miranda sebelum akhirnya ia benar-benar pergi.

Aku ingat dia berkata, "Fahri, boleh aku meminta satu hal darimu?" Saat itu aku tersenyum padanya, wajahnya yang kurus tidak membuat rasa cintaku sedikit pun berkurang. Miranda seperti bunga. Cantik dan dapat membuat hari siapapun yang melihatnya menjadi lebih berwarna. Namun disaat bersamaan, ia sangatlah rapuh.

Miranda menarik nafas panjang lalu melanjutkan. "Jika kau memang benar mencintaiku Fahri, apakah kau keberatan bila aku memintamu untuk meminangku? Waktuku tidak banyak. Dan maaf aku egois sudah memintamu untuk menikahiku padahal aku tahu umurku tidak panjang." Kemudian, ia menangis. Ia terisak dipelukanku. Aku tidak berkata apapun, tanganku sibuk mengusap punggungnya dengan harapan perasaannya akan membaik. Di sela-sela isakannya aku dapat mendengar ia berkata, "Aku ingin menjadi seorang Ibu, Fahri."

Isakannya semakin menjadi-jadi. "Aku ingin bisa merasakan bagaimana rasanya memegang tangan buah hatiku, menggenggam tangan kecil itu, menimangnya. Aku ingin mencintai bayi kecilku, Fahri. Seseorang yang kucintai selain kau."

Disaat itu tekadku sudah bulat. Jika memang waktu Miranda hanya di depan mata, aku ingin menjadikan hari-hari terakhirnya penuh dengan kenangan. Maka setelah hari itu, aku meminangnya.

Satu minggu setelah pernikahan kami, Miranda hamil. Masa-masa kehamilannya dihabisi Miranda dengan pilu. Badannya terlihat semakin kecil dan rapuh. Pada bulan ke 5, dokter bilang kehamilan Miranda mungkin tidak akan berhasil dan bayinya pun akan menderita penyakit yang sama dengannya.

Miranda mengalami stress berat. Ia menghabiskan waktunya dengan menangis hampir setiap hari. Ia menyesal sudah memintaku untuk menikahinya, menyesal karena sudah egois, menyesal karena ia sudah menyebabkan anaknya untuk mengalami kepedihan yang juga ia rasakan. Aku sempat memergokinya ingin mengakhiri dirinya. Hatiku ikut perih melihat orang yang kucinta menjadi begitu hancur. Di sepertiga malam aku selalu berdoa untuknya, untuk anakku, untuk keselamatan mereka berdua.

Pada bulan ke 9, Miranda melahirkan anak kami. Kinanti lahir dengan selamat namun Miranda tidak. Tubuhnya sangat lemas. Untuk membuka mata saja ia tampak tak ada tenaga. Nafasnya terdengar berat. Denyut jantungnya sangat pelan. Ia sempat membisikkanku, "Kinanti. Buah hatiku Kinanti, Kinanti kecilku." sebelum akhirnya ia benar-benar pergi.

Sejak hari itu aku selalu memeluk Kinanti. Merawatnya seolah-olah setiap hari adalah hari terakhirnya. Kinanti tumbuh menjadi anak perempuan manis yang selalu ingin tahu. Ia selalu menyuguhkanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri pun bingung bagaimana menjawabnya.

Kami selalu mempunyai ritual malam, satu jam sebelum tidur dimana kami saling berbincang. Satu jam yang lama itu selalu terasa sebentar dengannya. Suatu hari, Kinanti bertanya padaku. "Ayah, apa yang terjadi setelah seseorang pergi dari dunia?"

Aku tahu, pertanyaan itu memang tak lazim untuk ditanyakan oleh anak berumur 5 tahun. Aku mengelus rambutnya selagi ia melapisi tubuhnya dengan selimut. Kemudian aku menjawab, "Di dunia ini ada 2 jenis orang, Kinanti. Mereka yang berhati tulus dan mereka yang berhati licik. Ketika seseorang meninggal, malaikat akan mengulas balik hal-hal yang sudah mereka lakukan di masa hidupnya. Mereka yang tulus akan pergi ke nirwana sedangkan yang licik akan di hukum."

Mata bulat Kinanti menatapku dengan segudang pertanyaan. "Mengapa begitu, Ayah? Bukankah tulus dan licik itu subjektif?"

Aku tersenyum. Kinanti kecilku memang pintar. "Benar sekali. Karena itu, lebih baik kita melakukan hal yang menurut kita benar, Kinanti. Bukan hanya benar bagi kita, tapi juga bagaimana keputusan kita itu dapat berdampak ke orang lain. Perihal tulus dan liciknya, kita serahkan saja pada Tuhan. Karena hanya Tuhanlah yang dapat menilai ciptaannya dengan objektif."

Perbincangan kami selalu diakhiri dengan senyuman tipis Kinanti. Bentuk kepuasan karena senang dengan jawaban yang kuberikan. Aku tidak pernah lelah menjawab pertanyaan-pertanyaannya, aku rasa ini sebagai ganti karena Kinanti tidak bersekolah.

Aku tidak ingin Kinanti terlalu lelah. Dokter bilang, dengan kondisi yang Kinanti miliki ia bisa berpulang kapan saja. Setiap harinya ia satu langkah lebih dekat pada ajal. Hatiku pedih tiap mengingat bahwa suatu hari nanti, Kiranti akan menyusul Miranda, meninggalkanku seorang diri. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika waktu itu datang. Haruskah aku mengakhiri diriku juga? Menyusul mereka berdua? Miranda pasti tidak akan menyukai ide itu. Aku membuang nafas. Membayangkannya saja jantungku sudah mau copot.

Aku dan Kinanti selalu check up ke rumah sakit setiap dua bulan sekali. Dengan uangku yang pas-pasan dan biaya obat-obatan Kinanti yang mahal, aku tidak bisa memberikan Kinanti kehidupan yang menyenangkan. Aku hanya bisa memberinya hidup yang sederhana. Dengan hiburan yang sederhana pula. Kau tahu, aku merasa bersalah padanya. Aku takut Kinanti tidak bahagia. Aku tidak mau Kinanti merasa dirinya berbeda dan terasingkan dari anak-anak lainnya.

Kinanti hampir tidak pernah keluar rumahㅡkecuali untuk check up dan ketika aku menyuapinya di teras. Aku melarangnya untuk terlalu aktif. Bertemu dengan teman sebayanya saja ia belum pernah. Tubuhnya yang mungil dan ceking itu membuat hatiku selalu was-was. Bak angin bisa membuatnya layu. Kinanti seperti bunga, sama seperti Miranda. Tertiup angin, hancur.

Pernah suatu hari, saat kami pulang dari rumah sakit ketika Kinanti berumur 6 tahun, Ia meraung hebat. Ia menangis, memuntahkan obat-obatnya, dan berseru padaku. "Ayah, mengapa Tuhan menjadikanku berbeda?"

Tanpa menjawab, aku langsung merengkuh tubuhnya dengan hati-hati. Air mataku mulai turun, tapi dengan segera aku menghapusnya. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan Kinanti. Aku harus kuat.

Aku ingat Miranda pernah berkata, "Hidup itu memang sulit, Fahri. Senyuman hanya membuatnya sedikit jadi lebih baik. Tapi tetap hadapi keperihan itu dengan senyuman. Karena itu satu-satunya hal yang dapat membuat kita melupakan keperihan hidup barang seperkian detik."

Kemudian, aku memaksakan diri untuk tersenyum. Walau rasanya semakinku tersenyum, semakin berat pula beban di hatiku, aku tidak boleh goyah. Kinanti membutuhkan senyumanku, bukan air mataku.

Aku membelai rambut Kinanti. "Ssh. Anak Ayah tidak boleh menangis, ya? Ayah tahu. Hidup memang berat, Kinanti. Tapi kamu harus tetap kuat. Karena setiap keputusan Tuhan, pasti beralasan."

Besok Kinanti ulang tahun yang ke tujuh. Pagi-pagi sekali, sebelum Kinanti bangun, aku pergi ke toko buku untuk membeli hadiah untuknya. Aku menyimpan catatan di nakas Kinanti 'Ayah pergi beli sarapan, sebentar lagi pulang' untuk jaga-jaga barangkali ia terbangun ketika aku tidak ada. Kinanti anak yang sangat pintar. Ia sudah bisa membaca sejak berumur 5 tahun, walaupun masih terbata-bata

Sesampainya di toko, aku menuju ke rak anak. Terdapat satu buku yang langsung memikat mataku. Sebuah pop-up book. Senyuman lebar terpampang di wajahku. Kinanti pasti akan menyukainya. Aku tidak pernah membelikannya pop-up book karena harganya cenderung lebih mahal daripada buku yang biasa. Namun kali ini tak apa. Asalkan Kinanti senang.

Setelah membayar buku itu di kasir, aku mampir ke pedagang asongan untuk membeli kue cubit. Kinanti sangat menyukainya. Ia pernah bertanya padaku, "Ayah, mengapa namanya kue cubit? Cara buatnya di cubitkah? Bentuknya tembam ya, Ayah. Seperti pipi Kinanti." Ah, mengingat Kinanti saja hatiku menjadi hangat. Kinanti. Kinanti kecilku.

Untung saja rumahku dekat dengan pedagang asongan dan toko buku, jadi walau dengan berjalan pun tidak memakan waktu banyak. Tidak sampai 15 menit kemudian, aku sampai dirumah, dengan kue cubit di tangan kananku dan hadiah Kinanti di tangan kiriku.

"Ayah?" panggil Kinanti ketika aku membuka pintu. Aku tersenyum. "Tebak, Ayah beli apa?" Senyumku memudar ketika melihat Kinanti yang lebih pucat daripada biasanya. Bibirnya pucat nyaris membiru dan matanya layu seperti kantuk yang tak hilang. Aku menaruh belanjaanku di kursi. Kupegang dahi Kinanti yang sedikit lebih dingin dari suhu normal.

"Kinanti tidak apa-apa, Ayah," ujarnya. Sepertinya rasa khawatirku terpampang jelas di wajah karena Kinanti kemudian berkata, "Ayah tidak usah khawatir. Hmm, Kinanti tahu Ayah beli apa! Kue pipi?"

Aku mencium keningnya. Tuhan semoga Kinanti kecilku baik-baik saja. "Iya. Nih, Ayah beli kue pipi kesukaan kamu. Kue cubit!" ujarku seraya tertawa gemas yang kemudian diikuti oleh gelak tawanya Kinanti.

"Kalau dibingkisan yang satu lagi apa, Yah?" Belum sempat aku menjawab, Kinanti membuka bingkisan itu. Seri wajahnya langsung sumringah. Padahal ulang tahunnya masih besok, pikirku. "Wah! Kok bukunya bisa gini, Yah? Keren banget! Beda sama buku-buku Kinanti yang lain."

Aku tersenyum simpul. "Kinanti suka?"

"Suka!" serunya bersemangat. Ia membuka halaman berikutnya yang menunjukkan gambar sebuah anak-anak di taman bermain. Lengkap dengan perosotan dan ayunannya. "Ini tempat apa, Yah?"

Terdapat sebagian kecil dari hatiku yang lilit ketika mendengar pertanyaan itu. Aku menjawab, "Itu taman bermain."

"Taman bermain?" Kemudian Kinanti diam sesaat. Seolah-olah dalam seperkian detik kenyataan menghajar dirinya. Kinanti tidak akan bisa bermain. Seri diwajahnya memudar. Dengan hati-hati ia bertanya padaku, "Maukah Ayah ajak Kinanti kesana? Kinanti belum pernah melihat bagian lain dunia selain rumah dan rumah sakit, Yah."

Perasaan bersalah menyeruak masuk ke dadaku. Aku tidak bisa mengajak Kinanti kesana. Seberapapun aku ingin mengajaknya, aku tidak bisa. "Ayah ingin sekali mengajak kamu kesana, tapi kamu tahu, kamu tidak boleh kelelahan, Kinanti."

Kinanti menatapku. "Kinanti tahu, Yah. Tapi Kinanti ingin sekali melihat bagaimana rupa dunia yang nyata. Bagaimanapun Kinanti akan terus hidup, Yah. Entah di dunia lain atau dunia luar selain rumah."

Hatiku meringis. Jarang sekali Kinanti menyebut-nyebut tentang dunia lain. Tidak pernah ia sekalipun membicarakan tentang kematiannya. Kematian. Tuhan, mengapa kau harus menciptakan suatu kata yang amat pedih.

Lagi-lagi aku memaksa diriku untuk tersenyum. Aku menarik nafas sebelum akhirnya menjawab, "Kita lihat nanti, ya, Kinanti. Kamu sarapan, mandi, setelah itu kita check up, oke?" Kinanti mengangguk kemudian pergi ke kamarnya.

Aku menutup kedua mataku. Kubiarkan air mataku mengalir turun. Pertahananku selalu hancur ketika Kinanti tidak berada disekitar. Aku menghelas nafas panjang. Jika memang setiap keputusan Tuhan beralasan, semoga saja keputusannya pada Kinanti memiliki alasan yang sempurna.

Seri Kinanti muncul kembali kali ini. Senyumnya merekah, duduknya tak bisa diam, ia terlihat sangat bahagia. Aku dan Kinanti baru selesai check up dan dokter bilang, "Tak apa. Asal kamu berhati-hati, ya, Kinanti. Jangan terlalu aktif disana." Karena aku ingin menepati ucapanku, aku mengajaknya ke taman bermain.

Sejujurnya aku tak ingin. Hati kecilku berkata bahwa membawa Kinanti ke taman bermain merupakan ide yang sangat buruk. Namun pikiranku tak bisa berhenti memikirkan perkataan Kinanti. Bagaimanapun Kinanti akan terus hidup, Yah. Entah di dunia lain atau dunia luar selain rumah. Perkataannya itu memberanikan hatiku sekaligus membuat hatiku berat. Namun bagaimanapun, Kinanti akan terus hidup. Keputusan Tuhan pasti beralasan. Ia akan terus hidup.

Aku membelokkan mobilku ke parkiran taman bermain. Kami sampai. Taman bermain tampak normal sore ini. Ramai dengan anak-anak dan para orang tua yang sibuk bergerumun. Entah untuk mengobrol maupun hanya sekadar untuk mengawasi anak-anaknya yang sibuk bermain.

Aku membantu Kinanti melepaskan sabuk pengaman. Wajah mungil itu terlihat sedikit tegang, matanya menyelidiki keramaian. Seluruh keramaian ini baru baginya. Ia baru pertama kali melihat orang lain selain diriku, suster, dokter, dan pasien-pasien di rumah sakit.

"Jangan berlarian ya, Kinanti," ujarku. Kinanti mengangguk. Kemudian kami turun dari mobil dengan tangan kami yang saling bertaut. Awalnya Kinanti diam. Ia hanya melihat anak-anak yang berlari-larian di hadapannya tanpa mengatakan apapun, namun lama-lama ia mulai melepaskan genggamannya dariku dan mulai menyatu dengan gerumunan anak-anak lain.

Aku tersenyum tipis ketika melihat Kinanti tersenyum lebar seusai turun dari perosotan. Ia menaiki atraksi-atraksi itu dengan seri di wajahnya. Bahkan aku juga melihat ia berinteraksi dengan kumpulan anak-anak. Mereka tampaknya akan menjadi teman pertama Kinanti. Kinanti tampak bahagia. Seolah hari ini ia benar-benar hidup dan tidak hanya berusaha agar tetap hidup.

"Ayah!" ujarnya berseru padaku ketika ia sedang menaiki ayunan. Kemudian ia turun dari ayunan dan berniat untuk menghampiriku. Yang terjadi berikutnya tidak bisa kudeskripsikan. Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Tepat ketika Kinanti turun dari Ayunan, seseorang mendorong kursi ayunan tersebut sehingga Kinanti tersungkur.

Jantungku berdegup dua kali lebih kencang. Setengah berlari, aku mengangkat tubuh Kinanti dan menggendongnya di pangkuanku.
Tidak ada luka atau goresan untungnya. "Kinanti, ada yang sakit tidak?" tanyaku memastikan.

Ia menggeleng pelan. "Kinanti tidak apa-apa," gumamnya. Ada yang berbeda dari suara Kinanti. Kini suaranya menjadi lebih parau, tubuhnya pun terasa lebih ringan dari biasa. Jantungku melemas. Aku segera berlari ke mobil dengan Kinanti di gendonganku. "Kita ke dokter sekarang."

Kinanti menggeleng. "Kinanti tidak apa-apa, Ayah. Kinanti tidak ingin ke dokter," ujarnya. Meskipun Kinanti mengatakan bahwa begitu, firasatku bilang sebaliknya. Rasa khawatir menggerogoti dadaku.

"Kita harus ke dokter Kinanti. Walau kamu merasa baik-baik saja, bukan berarti organmu juga baik-baik saja," tegasku. Kinanti menghentikanku ketika aku ingin menyalakan mobil. Ia berkata, "Ayah. Kinanti baik-baik saja."

Ia menatapku, mencoba meyakinkanku bahwa ia benar baik-baik saja. Aku menghela nafas. "Jangan berbohong, Kinanti." Kinanti tertawa. "Tidak, Ayah. Kinanti baik-baik saja. Kinanti ingin pulang, membaca buku yang Ayah berikan."

Sekarang pukul 7 malam. Kinanti tidur lebih awal hari ini. Ia pun tidak membaca buku yang kuberikan sesuai ucapannya tadi. "Aku lelah," katanya.

Seperti biasa, 1 jam sebelum tidur adalah ritual malam kami. Kinanti tampak janggal malam ini. Sorot matanya kosong. Ia pun tidak berseri seperti biasanya. Aku bertanya, "Kinanti, ada apa?" Kinanti tidak menjawab. Aku pun diam, tidak memaksa Kinanti untuk berbicara. Mungkin dia benar-benar ingin beristirahat malam ini.

"Ayah," panggilnya. Kemudian, ia melanjutkan. "Kinanti tidak percaya dengan eksistensi manusia."

Aku menoleh. Eksistensi manusia? batinku. "Apa maksudmu, Kinanti?"

"Ayah pernah berkata pada Kinanti, setiap keputusan tuhan pasti beralasan, bukankah dengan begitu eksistensi manusia tidak nyata? Manusia hanyalah sebatas kreasi Tuhan yang tidak ada batas. Semua sudah direncakan oleh Tuhan. Bukankah begitu, Ayah?"

"Benar," jawabku singkat. Sebagian besar otakku masih memproses mengapa Kinanti mengucapkan hal itu.

"Ayah juga pernah berkata, mereka yang tulus akan pergi ke nirwana sedangkan yang licik akan di hukum. Jika begitu, maka bukankah manusia tidak akan pernah mati? Ibu masih hidup disana, kan, Yah? Lantas apa bedanya mereka yang hidup disini dengan mereka yang hidup disana, Yah?"

Aku tidak bergeming. Kinanti melanjutkan. "Ayah, jika begitu, apakah manusia sejatinya adalah makhluk abadi? Kinanti pikir, sejatinya manusia hanyalah jiwa-jiwa yang terperangkap di satu tubuh. Dan tubuh akan hancur sedangkan jiwa akan kekal. Jika begitu, apakah bila aku tinggal disana jiwaku akan tenang, Yah? Karena yang sakit adalah tubuhku dan bukan jiwaku."

Mataku berkaca-kaca. Apakah ini akhirnya? Aku menggenggam tangan Kinanti dengan erat. Kukecup tangannya sesekali. Kinanti masih melanjutkan bicaranya akan tetapi suaranya makin parau. "Ayah," panggilnya. "Kinanti lelah."

Aku menangis. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis di hadapan Kinanti. Kukecup tangan Kinanti untuk beberapa saat. Hatiku remuk. Aku tidak boleh egois. Mungkin memang ini adalah akhirnya. Kinanti sudah menjadi putri kecilku yang kuat selama enam tahun. Kinanti kecilku. Kinanti kecilku yang tangguh.

Kinanti mengelap air mataku lalu ia tersenyum tipis. Tangannya dingin, bibirnya membiru. "Ayah," panggilnya lagi. "Kinanti akan selalu ada untuk Ayah dan Ibu. Mungkin Ayah tidak akan bertemu sosok Kinanti lagi disini, tapi Kinanti akan selalu hidup dipikiran Ayah selama Ayah masih memikirkan Kinanti. Kinanti akan berada disana, Yah. Bersama Ibu."

Aku menyembunyikan wajahku dengan kedua telapak tanganku. Pertahananku benar-benar sudah hancur. Kinanti kecilku. Buah hatiku. Aku berdiri untuk mengecup keningnya. Aku menyelimutinya untuk yang terakhir kali, merengkuh badannya untuk yang terakhir kali, bertemu dengannya untuk yang terakhir kali. Kinanti bergumam, "Aku sayang Ayah." Kemudian ia tersenyum. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Hatiku tak kuasa melihatnya. Aku segera mematikan lampu kamar Kinanti. Membiarkannya tertidur untuk sekali lagi.

Kemudian aku menangis. Aku menghabiskan malamku untuk mendoakannya, Kinanti Kecilku. Dalam doaku aku bergumam, "Ayah juga sayang kamu, Kinanti."

Why not risk your life, if you don't want to live anyway? Why not risk your life if you'll never be happy no matter what you do?

OH HEY, FOR BEST VIEWING, YOU'LL NEED TO TURN YOUR PHONE