Dunia virtual era digital; Roleplay.
Riset tirto.id × Hiranya Kamaliel for SELCOUTH's selection.
Masuknya Hallyu Wave dan perkembangan teknologi melahirkan budaya baru di ruang-ruang ruang maya Indonesia, salah satunya ‘roleplay’ yang diinisiasi militan penggemar Kpop. Roleplay pertama kali muncul dilakukan oleh orang-orang (terutama remaja) di media sosial terutama Twitter. Dengan domisili paling banyak yaitu ibu kota Jakarta. Roleplay berarti bermain peran berbagai publik figur dari berbagai dunia. Permainan peran tidak dilakukan di panggung pentas, melainkan di jejaring sosial media Twitter, Facebook, Instagram dan meluas pada aplikasi pesan seperti WhatsApp, Line Messenger, dan Kakaotalk bahkan TikTok.
Awalnya, Roleplay merupakan sarana penggemar Kpop untuk memperkenalkan idolanya kepada sesama netizen. Para pemain peran atau roleplayer dapat diidentifikasi dari profil akunnya yang selain menggunakan ‘ava korea’, mereka juga mencantumkan kata “roleplay", “RP", atau “parody" pada bio akun roleplay-nya juga membuat sebuah disclaimer agar tidak terjadi kesalahpahaman orang awam terhadap akun roleplay tersebut.
Para dalang atau mundane dari karakter roleplay tersebut harus pintar-pintar dalam memilih platform untuk bermain, sebab tak semua platform sosial media bisa digunakan untuk bermain roleplay seperti yang belakangan ini terjadi. Bisa-bisa orang mengartikan jika memang itulah sifat dan perilaku dari karakter yang dimainkan tersebut.
Roleplay juga memungkinkan adanya interaksi dengan sesama roleplayer, seperti bercakap-cakap, bermain games, hingga menyelenggarakan konser virtual berbasis plot dan imagine. Plot merupakan alur cerita yang dibuat oleh Roleplayer kala berinteraksi baik secara spontan atau yang telah direncanakan mencakup latar waktu, tempat dan suasana, sementara imagine adalah bentuk singkat dari plot. Dalam berkomunikasi, para roleplayer tidak dituntut menggunakan bahasa ibu karakternya, tapi bisa saja dengan bahasa Indonesia.
Faktor inilah yang menyebabkan roleplay kian diminati dan populer pada 2011-2012 seperti yang temuat dalam riset Digna Tri Rahayu bertajuk “Artikulasi Identitas Virtual Roleplayer dengan Karakter K-Pop Idol" yang dipublikasi pada 2019. Sayangnya, perkembangan ini justru perlahan-lahan mengubah wajah roleplay.
Roleplay memang bersifat cair dan dinamis, tak ada yang bisa membuat aturan baku mengenai tata cara bermain peran pada ruang maya. Setiap roleplayer bisa memerankan siapa pun dan berlaku sesuka hatinya. Budaya pada roleplay world dirumuskan secara kolektif oleh para pemain atau masyarakat maya di dalamnya. Inilah yang membuat wajah roleplay seperti terbagi dua: ada roleplayer in character (IC) yang tetap menyesuaikan karakteristik tokoh yang diperankan, ada juga roleplayer out of character (OOC) yang kerap membahas perosalan pribadinya.
Apabila awalnya para roleplayer dengan sukarela bermain peran untuk memperkenalkan karakter sang idola, kini roleplay world telah berkembang menjadi sebuah dunia alternatif. Kehadiran roleplay world memungkinkan para pemain di dalamnya meluapkan keluh kesah mengenai permasalahan yang mungkin tidak bisa diungkapkannya di dunia nyata, juga sebagai sarana hiburan sampai pemenuhan perasaan cinta. Para roleplayer justru menciptakan realitas baru melalui ruang maya. Jalinan interaksi sesama roleplayer memungkinkan mereka lebih dekat secara personal dan menimbulkan rasa suka satu sama lain. Banyak roleplayer yang kemudian menjalin kasih virtual atas dasar ketertarikan terhadap si pemilik akun. Dalam berpasangan, para roleplayer ada yang menyesuaikan dengan kisah asmara sang publik figur, dan ada juga yang membangun cerita sendiri.
Laras Puspa dan Assas Putra dalam penelitian bertajuk “Motif Sosiogenesis Pasangan Roleplay Dalam Media Sosial Twitter" yang dimuat pada Jurnal Manajemen Komunikasi, Volume 2, No. 2, April 2018 menjelaskan, motif pemilihan pasangan para roleplayer umumnya didasari rasa ingin tahu dan ketertarikan terhadap kepribadian roleplayer yang menjadi pasangannya. Hubungan yang tadinya berlaku secara virtual kini berdampak pada ranah personal para roleplayer. Intensitas komunikasi yang dijalin pasangan roleplayer membuka peluang bagi keduanya untuk semakin dekat secara personal, menimbulkan rasa nyaman dan takut kehilangan apabila salah satu dari keduanya meninggalkan roleplay world.
Fenomena Sexting.
Sexting diartikan sebagai kegiatan berbagi foto, video serta pesan seksual eksplisit melalui berbagai sarana elektronik. Sexting telah berkembang dan semakin dikenal dalam ranah masyarakat modern.
Pada tatanan masyarakat Indonesia, fenomena sexting juga tercermin dalam roleplay world terutama pada jejaring Twitter. Dulunya, roleplayer semacam ini disebut sebagai roleplayer yadong yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘mesum’. Kini sebutannya berubah menjadi ‘smut’ roleplay atau ‘NSFW’ yang merupakan kepanjangan dari Not Safe For Work. Ungkapan NSFW sendiri menunjukkan bahwa suatu konten bisa saja mengganggu atau bermuatan seksual.
Kendali di tangan sendiri, jaga diri, jaga masa depan! Kita muda, kita bebas, kita sukses.
Terlepas lunturnya nilai-nilai dalam bermain peran, roleplay tetap diminati. Eksistensi roleplay selalu mengisi ruang-ruang maya dan terus berkembang. Ruang-ruang curhat juga terbuka bagi mereka yang kesulitan mencurahkan perasaannya di dunia nyata. Sebagai bagian dari perkembangan teknologi, roleplay juga memiliki dampak baik dan buruknya sendiri.
Tentunya dampak positif dan negatif yang ada dihasilkan dari peran si roleplayer sendiri. Privasi dan pergaulan adalah dua hal yang dikendalikan penuh oleh si pengguna maka lakukan self-filtering, perbanyak konten positif, gunakan internet secara komprehensif, batasi waktu penggunaan agar tak kian jauh dari dunia realita.